Abusyuja.com_Pernahkah ada sepintas pertanyaan dibenak anda mengenai kuburan/makam? Makam merupakan sebuah tempat penyimpanan mayat dengan tata cara yang sudah ditentukan oleh syariat. Tidak hanya di Islam, di agama-agama lain juga mengajarkan mengenai keharusan mengubur manusia yang sudah tidak bernyawa lagi.
Dan ada juga ajaran agama lain yang tidak mengharuskan adanya proses penguburan jenazah, tetapi cukup menyimpannya pada sebuah lubang yang berada di tebing-tebing batu. Bahkan ada juga kepercayaan yang mengajarkan pembakaran jenazah kemudian abunya dilepas di perairan.
Baca juga:
Kembali lagi ke makam. Ada sebuah pertanyaan yang dari dulu menjadi persoalan yang agak serius. Yaitu mengenai memperbarui nisan makam, khususnya dalam tanah pemakaman umum. Kemudian bagaimana hukumnya jika hal tersebut dilakukan di tanah pribadi? Berikut pembahasannya.
Seperti yang sudah dibahas di atas, hukum memperbarui nisan adalah boleh. Adapun masa rusaknya jenazah hingga menjadi tanah ada yang mengatakan 15 tahun, ada pula yang mengatakan 25 tahun, bahkan ada juga yang berpendapat 70 tahun. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan iklim yang berbeda-beda pada setiap daerah.
Hukum menembok kuburan, mengecor kuburan, atau membuat pagar kuburan adalah haram apabila dilakukan di pemakaman umum. Tetapi jika makam tersebut terletak di tanah milik pribadi, maka hukumnya boleh (makruh).
Didalam kitab Fathul Mu’in dijelaskan bahwa makruh hukumnya membangun sesuatu bangunan apapun di atas kuburan/makam. Sebagaimana hadis shahih melarangnya, jika tanpa ada keperluan seperti kekawatiran akan digali atau dibongkar oleh binatang buas, atau diterjang banjir.
Hukum makruh tersebut berlaku untuk makam yang berada di tanah milik pribadinya. Sedangkan membangun kuburan tanpa suatu keperluan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, atau membangun kubah di atas pemakaman yang terletak di pemakaman umum, maka hukumnya haram dan harus dihancurkan, karena bangunan tersebut akan masih ada ketika jenazah sudah hancur.
Tetapi ada pengecualian. Sebagaimana pendapat Imam Bujairimi, “Sebagian ulama mengecualikan keberadaan bangunan makam pada makam para Nabi-Nabi, para syuhada, orang-orang sholeh, dan lainnya.”