Kapan Boleh Membatalkan Puasa? – Pengertian uzur puasa adalah alasan-alasan khusus yang sudah ada ketentuannya dalam syariat yang menjadi sebab kita boleh tidak berpuasa atau membatalkan puasa pada siang hari (waktu puasa).
Hal ini juga merupakan sebuah rukhsah atau keringanan bagi orang yang tidak mampu melaksanakan puasa akibat adanya uzur, seperti sakit, sedang melakukan perjalanan, dan lain sebagainya.
Jika syariat sudah membuat ketentuan orang yang meninggalkan puasa, lalu apakah boleh bagi kita tetap melaksanakan puasa meskipun salah satu uzur tersebut menimpa kita?
Contoh : Apakah orang sakit boleh puasa?
Jawabannya adalah boleh. Rukhsah dalam konteks ini hanyalah sebuah keringanan bagi orang-orang yang kejatuhan uzur.
Akan tetapi jika memang ia masih kuat untuk menjalankan puasa, maka sah-sah saja.
Uzur adalah alasan. Berikut beberapa alasan kapan kita boleh untuk tidak berpuasa atau membatalkan puasa.
Uzur yang memperbolehkan kita untuk tidak berpuasa:
Dari segi bahasa, perjalanan berarti keluarnya seseorang dengan beban barang-barang bawaan.
Mengenai jaraknya, tidak ada satupun nas yang jelas oleh pembuat syariat.
Perjalanan yang membolehkan pembatalan puasa adalah perjalanan jauh, yang membolehkan menjamak qasar shalat. Berikut syaratnya :
Perjalanan ini kira-kira sejauh 89 KM.
Dengan syarat (menurut jumhur), perjalanan itu harus mereka mulai sebelum terbitnya fajar.
Orang yang melakukan perjalanan itu harus sudah keluar dari daerahnya.
Menurut mazhab Syafi’i, orang yang sedang bepergian lebih baik tetap menjalankan puasa apabila memang tidak membahayakannya.
Dan apabila di tengah perjalanan ia tidak kuat lagi, maka wajib baginya membatalkan puasa dan haram untuk melanjutkan puasanya.
Udzur yang kedua adalah sakit. Sakit adalah perubahan fisik kepada kerusakan.
Penyakit yang membolehkan pembatalan puasa adalah penyakit yang menimbulkan mara bahaya apabila ia berpuasa.
Contoh : Seseorang yang apabila berpuasa, penyakitnya akan tambah parah, atau dapat membahayakan nyawanya, atau dapat merusak anggota tubuhnya yang hanya bisa sembuh lewat amputasi.
Wanita hamil dan menyusui bayi boleh hukumnya berbuka.
Dengan catatan, keduanya merasa khawatir atas ia sendiri atau bayinya, baik bayi itu anak kandungnya atau bayi orang lain (wanita sewa ASI).
Kekhawatiran itu bisa berupa kurangnya ketajaman akal, kerusakan, atau timbulnya sesuatu penyakit.
Kekhawatiran yang “sah” adalah kekhawatiran atas perkiraan-perkiraan yang mendekati kepastian atau lewat pemberitahuan dari dokter yang ahli dan adil.
Ketika seorang wanita hamil atau menyusui khawatir akan timbulnya kesulitan-kesulitan bagi ia sendiri atau bayinya, maka boleh baginya tidak berpuasa.
Menurut mizab Syafi’i, jika keduanya (wanita hamil dan menyusui) tidak berpuasa karena mengkhawatirkan anaknya, keduanya wajib mengqada dan mengeluarkan Fidyah.
Menurut ijmak, buka puasa boleh bagi orang tua renta (baik laki-laki maupun perempuan) yang sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa sepanjang tahun.
Keduanya tidak wajib mengqada puasa, karena tidak ada kemampuan dalam tubuhnya.
Tetapi, ia berkewajiban membayar Fidyah, yakni memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari.
Baca juga :
Sama halnya dengan orang sakit yang sudah tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya.
Maka tidak wajib baginya mengqadha puasa, tetapi ia wajib membayar Fidyah.
Akan tetapi jika ada harapan untuk sembuh, maka wajib baginya mengqadha tanpa harus membayar Fidyah.
Berbuka boleh dilakukan oleh orang yang merasa sangat lapar dan haus apabila ada kekhawatiran akan terjadi kerusakan atas dirinya, khawatir akan berkurang ketajaman akalnya, atau khawatir akan keselamatan panca inderanya.
Jika dia berbuka, dia harus mengqadha puasanya.
Dan jika seseorang merasa khawatir atas keselamatan jiwanya, dia diharamkan puasa.
Orang yang dipaksa boleh berbuka puasa.
Menurut jumhur, ia tetap wajib mengqadha puasanya. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i, orang yang terpaksa tidak boleh berbuka puasa.
Jika seorang perempuan disetubuhi secara paksa atau ketika sedang tidur, maka wajib baginya mengqadha.
Itulah udzur-udzur terpenting yang membolehkan pembatalan puasa.
Adapun haid, nifas dan penyakit gila yang terjadi secara tiba-tiba pada orang yang sedang berpuasa, juga membolehkan pembatalan puasa.
Bahkan, puasa menjadi tidak wajib dan tidak sah, sebagaimana telah kami jelaskan dalam syarat-syarat puasa.
Demikianlah jawaban mengenai Kapan Boleh Membatalkan Puasa? Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A’lam