Sejarah Ikhwanul Muslimin dan Tujuannya – Sejarah Ikhwanul Muslimin. Dalam bahasa Indonesia Ikhwanul Muslimin berarti “Persaudaraan Muslimin”, yaitu sebuah organisasi Islam yang bergerak pada bidang dakwah Islam di Mesir dan di belahan Dunia Arab.
Organisasi Ikhwanul Muslimin dipelopori oleh Hasan al-Bana, yang melahirkan sejumlah organisasi-organisasi Islam baru yang menyebar di Mesir maupun di luar Mesir.
Para pendiri kelompok ini antara lain :
Mereka berkumpul pada tahun 1928 di kota Islamiyyah. Saat itu, Hasan al-Bana bertugas sebagai pengajar di salah satu Madrasah Ibtida’iyah. Pada perkumpulan tersebut, mereka sepakat mendeklarasikan berdirinya organisasi Ikhwanul Muslimin, dengan berkata, “Kami adalah bersaudara yang akan bekerjasama untuk mengabdi kepada Islam. Kami adalah Ikhwanul Muslimin.”
Pelopor Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Bana dianggap pemerintah Mesir telah menyebarkan dakwah Islam sesuai yang dipahami, dinilai sebagai dakwah bercorak salafi, tarekat sunni, hakikat sufi, organisasi politik, organisasi ilmiah, organisasi pendidikan, badan usaha perekonomian, serta pemikiran sosial.
Mengenai hal itu, Hasan al-Bana menjelaskan pemahamannya tentang Islam secara komprehensif menyebabkan dakwah yang diembannya mencakup semua aspek kehidupan manusia. Sebab, Islam berkaitan dengan akidah, ibadah, bangsa, kewarganegaraan, agama, negeri, spiritual, mushaf, dan juga pedang.
Baca juga :
Di awal pembentukan jamaah ini, Hasan al-Bana memperhatikan aspek pendidikan Islam dan menekankan pentingnya pendidikan tersebut. Tujuan dari pendidikan Islam adalah untuk membangun akhlak kuat dan akidah yang benar, sehingga mendorong para anggota jamaah melakukan perbuatan mulia.
Sayyid Qutub adalah pemikir dan salah seorang tokoh yang memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran kelompok Ikhwanul Muslimin.
Di antara bukunya berjudul Mu’alim fi at-Tariq, Qutub menjelaskan, “Membutuhkan kekuatan untuk menghadapi jahiliyah tersebut, yakni kekuatan menghancurkan dan mengalahkan mereka”.
Dari ajakan inilah, kekuatan revolusi Islam mulai mereka belokkan. Hal ini menyebabkan terjadinya perseteruan antara pihak pemerintah dengan Ikhwanul Muslimin, hingga menyebabkan terjadinya pertumpahan darah pada Juli 1954, yakni dalam tragedi Mansyiat Nashr.
Gamal Abdul Nasr, Presiden Mesir kala itu, menangkap para aktivis dan anggota jamaah Ikhwanul Muslimin dan menindaknya dengan tegas. Ada 6 orang anggota jamaah yang terjatuhi hukuman mati, di antaranya yaitu Abdul Qadir ‘Audah dan Sayyid Qutub.
Sebagai dampak dari pertumpahan darah tersebut, juga sebagai dampak dari kita Mu’alim fi al-Thariq oleh Sayyid Qutub, Jamaah Ikhwanul Muslimin pecah menjadi empat kelompok :
Pertama, kelompok orang yang ingin meneruskan apa yang telah Hasan al-Bana wariskan sebelum terjadinya konflik dengan pemerintah. Kelompok ini yang sampai sekarang bernama Ikhwanul Muslimin.
Kedua, kelompok orang yang mengaku sebagai orang-orang salaf. Mereka berpendapat, dalam rangka menghadapi masyarakat Jahiliyah, kita tidak perlu mengingkarinya dengan tangan (kekuatan) atau lisan, tetapi cukup dengan hati.
Ketiga, Jamaah at-Takfir wa al-Hijrah. Mereka mengharuskan semua anggotanya untuk meninggalkan masyarakat Jahiliyah dan berhijrah ke suatu tepampat sehingga mereka dapat menyusun kekuatan di sana. Setelah berhasil menyusun kekuatan, mereka akan menghancurkan masyarakat Jahiliyah yang mereka anggap sebagai orang-orang kafir.
Keempat, Jamaah al-Jihad yang berpendapat, perang melawan pemerintahan kafir merupakan suatu kewajiban dalam Islam. Mereka menganggap cara ini sebagai satu-satunya cara untuk mendirikan negara Islam.
Di Indonesia, Ikhwanul Muslimin awalnya masuk melalui lembaga-lembaga dakwah kampus yang kemudian menjadi gerakan Tarbiyah. Kelompok ini kemudian melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Keterkaitan partai ini dengan Ikhwanul Muslimin diakui Mantan Sekretaris Jendral PKS Anis Matta.
Secara lebih tegas, keterkaitan PKS dengan Ikhwanul Muslimin dikatakan oleh pendiri partai ini, sekaligus mantan anggota Dewan Syariah PKS Yusuf Supendi.
Dalam bukunya Republik Pengadilan Yusuf Supendi Menggugat Elit PKS, ia menjelaskan, Ketua Majelis Syuro PKS memiliki kekuasaan tertinggi yang dikenal dengan istilah Muraqib ‘Am, yaitu Pemimpin Tertinggi Jamaah Ikhwanul Muslimin di Indonesia.
Itulah pembahasan mengenai Sejarah Kelompok Ikhwanul Muslimin & Tujuannya. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat.