Ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada yang dilakukan oleh seorang ahli hukum yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Ijtihad merupakan salah satu sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-Hadis. Ijtihad dilakukan dengan menggunakan akal atau ar-ra’yu. Posisi akal dalam ajaran Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Allah Swt. menciptakan akal untuk manusia agar dipergunakan untuk memahami, mengembangkan dan menyempurnakan sesuatu, dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan dalam Islam. Namun demikian, akal tidak dapat berjalan dengan baik tanpa ada petunjuk. Petunjuk telah diatur oleh Allah Swt. yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Penggunaan akal untuk berijtihad telah dibenarkan oleh Nabi Muhammad Saw., seperti yang terdapat pada hadis Mu’adz Bin Jabal, bahkan juga terdapat dalam ketentuan Qur’an surat an-Nisa ayat 59.
Kedudukan ijtihad dalam bidang muamalah memiliki peran yang sangat penting. Hal ini disebabkan bahwa sebagian besar ketentuan-ketentuan muamalah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis bersifat umum.
Sedangkan dalam pelaksanaannya di masyarakat, kegiatan muamalah selalu berkembang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, ayat dan hadis hukum yang menjadi objek ijtihad hanyalah yang dzanni sifatnya.
Ijtihad dapat dilakukan terhadap hal-hal yang tidak terdapat ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis dan juga mengenai masalah hukum baru yang timbul dan berkembang di masyarakat.
Huzaini berpendapat bahwa ketentuan yang berasal dari ijtihad ulil amri terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:
Selain itu pula istilah mengenai hukum perikatan Islam dilakukan oleh para imam madzhab seperti Hanafi Maliki Syafi’i dan Hambali. Demikianlah pembahasan mengenai ijtihad dalam hukum perikatan Islam. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat.