Wasiat Wajibah untuk Ahli Waris Non Muslim
Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam menjadi dasar hukum untuk menyatakan tidak ada hak waris bagi non muslim.
Pasal tersebut berbunyi:
“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris."
Pasal ini tidak menyatakan secara tegas mengenai ahli waris non muslim yang tidak mendapatkan hak waris, tetapi hanya memberikan definisi terhadap ahli waris.
Kompilasi hukum Islam menegaskan bahwa "keislaman" merupakan syarat mutlak bagi kedudukan seseorang sebagai ahli waris yang berhak atas harta peninggalan.
Kata-kata beragama Islam secara tidak langsung merupakan syarat bagi seseorang untuk dijadikan sebagai ahli waris.
Lebih lanjut ditegaskan pada pasal 172 Kompilasi Hukum Islam bahwa untuk menilai ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan, demikian juga dapat dilakukan berdasarkan tata cara pernikahan.
Dalam hukum Islam, norma yang berlaku terhadap ahli waris nasional muslim didasarkan pada hadis Usamah Ibn Zayd yang menyatakan seorang muslim tidak mewarisi orang kafir demikian sebaliknya.
Sedangkan menurut jumhur ulama, ahli waris yang berlainan agama tidak mendapat hak waris maupun sebaliknya.
Kedudukan ahli waris non muslim dianggap tidak pernah ada sehingga tidak meng-hijab terhadap ahli waris berikutnya.
Demikian hanya dengan pendapat Syiah, ahli waris non muslim tidak mendapatkan hak waris kecuali pendapat Syiah Imamiyah yang memberikan hak waris kepada non muslim.
Pendapat mazhab Hambali sedikit mendekati Syiah, mazhab ini memberikan hak waris kepada ahli waris non muslim jika ia kembali muslim sebelum harta warisan dibagikan.
Dalam hukum waris kontemporer yang berlaku di beberapa negara Islam menunjukkan bahwa perbedaan agama tetap menjadi halangan untuk memperoleh kewarisan.
Kompromi hukum yang terjadi pada hukum waris di Indonesia di mana ahli waris non muslim masih mempunyai hak menerima wasiat wajib tidak terlepas dari adanya pendapat Ibnu Hazm yang membolehkan wasiat kepada ahli waris non muslim.
Di samping itu, hadis Usamah ibn Zayd tidak dapat dijadikan satu-satunya legalitas untuk menentukan hukum-hubungan kewarisan antara pewaris muslim dengan ahli waris non muslim.
Beberapa ulama menempatkan hadis Usamah ibn Zayd sebagai sikap Umar Bin Khattab, bukan sikap Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Hal ini dapat dilihat dari sikap sahabat lainnya seperti Muadh ibn Jabal yang pernah memutus kasus harta warisan dari pewaris Yahudi kemudian diberikan kepada ahli waris muslim.
Sikap ini berbeda dengan Umar Bin Khattab yang tidak memberikan warisan terhadap tuntutan seorang muslim terhadap harta waris yang kafir dan harta waris diberikan kepada ahli waris non muslim.
Sahabat yang tidak sependapat dengan Umar Bin Khattab bukan hanya Muadh ibn Jabal, menurut al-Shan'ani (meninggal 1182 Hijriah), Mu'awiyah, dan Masruq juga berbeda pendapat dengan Umar Bin Khattab, demikian dengan ulama lainnya yaitu Said ibn Musayab, Ibrahim al-Nakha'i, Ishaq, dan Imamiyyah.
Beberapa putusan atau yurisprudensi Mahkamah Agung telah menunjukkan adanya wasiat wajibah yang diperuntukkan bagi ayah, ibu, suami atau istri, dan anak keturunan yang bukan beragama Islam.
Berikut adalah beberapa sudut pandang mengenai wasiat wajibah untuk ahli waris non muslim yang ditinjau dari beberapa putusan di Indonesia:
1. Wasiat wajibah untuk ayah non muslim
Putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 59 K/AG/ 2001 tanggal 8 Mei 2002 menjelaskan bahwa seorang ayah yang beragama non muslim mendapatkan hak atas harta peninggalan anaknya yang beragama Islam.
2. Wasiat wajib untuk suami non muslim
Kedudukan suami non muslim masih tetap berhak menikmati harta peninggalan istrinya berdasarkan wasiat wajibah. Hal ini dapat dilihat pada putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 331 K/AG/2018. Putusan ini telah menjadi landmark decision sehingga dapat dijadikan sebagai standar penyelesaian perkara yang sama.
3. Wasiat wajibah untuk istri non muslim
Seorang istri yang telah mendampingi suaminya mempunyai kewajaran untuk menikmati atas harta waris suaminya meskipun tidak melalui hukum faraid.
Wasiat wajibah menjadi sarana untuk memberikan hak kepada istri yang non muslim dalam menikmati harta peninggalan suaminya.
Hal tersebut dapat dilihat pada putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010 tanggal 30 April 2010.
Demikian beberapa sudut pandang mengenai wasiat wajibah untuk ahli waris non muslim yang ditinjau dari beberapa putusan di Indonesia. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat.