Wasiat Wajibah dalam Perspektif Hukum Fikih
Makna wasiat lainnya adalah wasiat ikhtiyari, wasiat ini dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang mewasiatkan hartanya kepada seseorang yang dikehendaki.
Nomenklatur wasiat ikhtiyari seringkali hanya disebutkan wasiat saja, sementara untuk membedakan dengan yang lainnya disebutlah wasiat wajibah.
Dalam sejarahnya, wasiat menjadi salah satu lembaga peralihan harta pewaris kepada kerabatnya.
Turunnya ayat 11-12 Surat an-Nisa dilatarbelakangi oleh tindakan Aus bin Thabit, yang mewasiatkan seluruh hartanya kepada adiknya sendiri yaitu Suwaid dan Arfajah, padahal Aus sendiri mempunyai istri dan dua orang anak perempuan.
Sebagian para ulama memandang perintah wasiat yang terdapat pada Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 180 telah di-naskh oleh ayat waris.
Beberapa perintah Rasulullah saw. kepada para sahabat yang menganjurkan wasiat sebelum bepergian atau sebelum tidur dipandang sebagai sebuah kebijakan (sunah).
Hukum Asal Wasiat
Dalam mazhab Syafii, hukum asal dari wasiat adalah sunah, tetapi akan berubah sesuai keadaan menjadi mubah, haram, atau wajib.
Salah satu larangan wasiat yang diharamkan adalah ketika wasiat melebihi dari sepertiga kecuali apabila ahli waris menghendakinya.
Salah satu wasiat yang tidak diperbolehkan adalah wasiat yang diberikan kepada ahli waris.
Hadis Rasulullah saw. menegaskan larangan wasiat terhadap ahli waris.
Para ulama berpendapat, larangan wasiat terhadap ahli waris sangat tergantung dari ahli waris lainnya.
Jika ahli waris lainnya tidak keberatan, maka wasiat tersebut dapat dilaksanakan, sebaliknya jika ahli waris yang lain keberatan, maka dengan sendirinya wasiat tersebut batal.
Ketentuan hadis tersebut telah menjadi norma hukum keluarga di Indonesia. Pasal 195 ayat (3) KHI menyebutkan bahwa wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
Dalam yurisprudensi Mahkamah Agung telah menegaskan tentang kerelaan ahli waris terhadap wasiat atas ahli waris lainnya menjadi penting untuk dipertimbangkan.
Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 558 K/Ag/2017 menerangkan bahwa Para Pemohon Kasasi/Para Penggugat sebagai anak kandung pewaris yang notabene sebagai ahli waris mengajukan pembatalan wasiat.
Majelis Hakim tingkat kasasi mempertimbangkan, bahwa wasiat dalam perkara tersebut terjadi antara pewaris dengan sebagai ahli waris sementara wasiat tersebut tidak mendapatkan persetujuan dari semua ahli waris, sehingga wasiat tersebut adalah batal demi hukum.
Selain wasiat yang dilarang, juga terdapat kondisi di mana wasiat tersebut berstatus wajib.
Ibn Hazm memberikan contoh tentang kewajiban wasiat kepada kerabat yang tidak menjadi ahli waris seperti karena perbedaan agama atau karena ter-hijab.
Landasan awal pemikiran inilah yang menjadi legalitas terhadap wasiat wajibah bagi anak angkat yang kemudian terjadi perluasan hukum di mana wasiat wajibah juga berlaku untuk anak istri dan kerabat dekat non muslim.
Demikian kajian singkat mengenai wasiat wajibah dalam perspektif hukum fikih. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A’lam
Sumber Referensi:
- Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H, Dr. Sugiri Permana, S.Ag., M.H., Hukum Waris di Indonesia, (Surabaya: Pustaka Siaga). 2021.
- Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI tahun 2017, hal. 175-176.
- Musthafa al-Khin, Al-Fiqh al-Manhaj ala Mazhab al-Imam Syafi’i, Juz V, hal. 262-3.
- Abd Hamid Nasir, Mukhtasar kitab al-Umm fi al-Fiqh, hal. 684.
- Muhammad Husayn ibn Mas’ud al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi Ma’alim al-Tanzil, Juz II, hal. 169.