Hakikat Cinta dalam Islam (Cinta Sejati)
Pada masa Bani Umaiyyah ada seorang khalifah yang cerita cintanya bisa jadi pelajaran. Seyogyanya, amanah dalam kepemimpinan haruslah ditunaikan sebaik-baiknya, sebab pertanggungjawabannya nanti sangat berat. Kita harus bertanggung jawab di hadapan manusia dan di hadapan Allah Swt.
Khalifah tadi ternyata sudah memendam cinta kepada seorang wanita yang bekerja di istana, dan itu membuat fokusnya terbuyarkan. Tak penting lagi baginya mengurusi rakyat, hari-hari dilewatinya dengan kekasihnya. Menabur keindahan, mengukir senyuman, dan memberi hadiah. Begitu dan selalu saja begitu.
Alhasil, di masa khalifah ini, tidak begitu banyak torehan prestasi yang bermanfaat untuk umat. Bahkan, ketika wanitanya itu wafat, sang khalifah banyak menghabiskan waktu mengenang dan menyebut-nyebut namanya di dekat kuburannya.
Konon, Taj Mahal yang berdiri tegak dan megah di India juga merupakan lambang cinta sang raja pada istrinya yang sudah meninggal. Taj Mahal yang megah itu butuh waktu 20 tahun untuk membangunnya, biayanya pun tentu tidaklah murah. Namun, raja kekaisaran Moghul waktu itu, Syah Jahan, tetap bersikukuh membangun Taj Mahal sebagai makam istrinya, Ratu Mumtaz Mahal.
Taj Mahal memang termasuk di antara berbagai keajaiban dunia, sebagai bangunan kuno yang keindahan, kemegahan, dan kemahalannya tetap tak pudar sampai sekarang. Hanya saja, keputusan sang raja ini sempat disesalkan oleh penerusnya, bagaimana mungkin mengalokasikan dana yang sangat besar untuk mendirikan bangunan itu di tengah butuhnya rakyat pada santunan pemerintahnya. Belum lagi kalau dilihat tujuannya adalah sebagai hadiah cinta untuk sang istri. Tapi, begitulah cinta, ia selalu menuntut sang pecinta untuk memuja, menaati, dan berkorban untuk kekasihnya. Tak pandang siapa pecinta itu, baik raja maupun jelata, mereka sama saja.
Kisah yang berbeda kita dapati pada sejarah cinta Nabi Muhammad Saw. dengan Ibunda Khadijah Ra. Keduanya saling mencintai bukan hanya karena keelokan fisik, tapi juga karena indahnya kepribadian. Maka, hari-hari mereka tidak hanya untuk umbar cinta, tapi menjadikan cinta itu sebagai pengobar semangat dalam menjalankan kewajiban.
Setelah Nabi Muhammad Saw. diangkat menjadi nabi dan rasul, Khadijah hadir sebagai penyokong yang tak pernah hilang. Ibunda kita, Khadijah Ra., mengorbankan semuanya yang dimilikinya demi menunjang dakwah Rasulullah.
Ketika Rasulullah datang dengan keringat terkucur dari gua Hiro’, selepas turunnya wahyu pertama, Khadijah menenangkan Rasulullah Saw., kemudian membantunya mencari solusi.
Ibunda Khadijah yang sebelumnya adalah saudagar kaya juga intens mengalokasikan hartanya untuk Rasulullah Saw., agar digunakan dalam berdakwah. Begitulah cinta yang benar. Cinta bukanlah alasan untuk menihilkan produktivitas, tapi cinta menjadi pengobar semangat dalam memenuhi kewajiban pada Allah Swt.
Rasulullah Saw. pun selalu mengenang Ibunda Khadijah setelah wafatnya, “Ia selalu membenarkanku di waktu orang mendustakanku, ia selalu memberiku harta (untuk dakwah) di saat orang-orang menahannya, dan ia pun memberiku anak.”
Kisah cinta Fathimah binti Muhammad Saw. dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib juga layak jadi teladan. Meskipun hidup keduanya sederhana, sehingga pernikahan mereka bermula dengan kesederhanaan, tapi kemuliaan mereka tak terbantahkan. Mereka adalah contoh keluarga yang menghidupkan asma Allah Swt. Mereka tolong-menolong di dalam kebaikan. Setelah dilimpahkan anugerah berupa anak-anak, mereka mendidik anak-anak mereka menjadi anak yang beriman dan bertakwa.
Cinta paling benar adalah cinta yang membuat kita semakin dekat dengan Allah Swt., sebab sejatinya sejak awal masing-masing kita punya kewajiban menghamba kepada Allah, dan itulah tujuan Allah menciptakan kita. Jangan sampai cinta yang malah menjauhkan kita dari Allah, jangan pula cinta yang menjadikan kita melalaikan kewajiban-kewajiban. Insyaallah.