Konsep Ikhlas dalam Mencintai Menurut Islam
Kapankah Muhammad mengharamkan cinta?
Apakah pula ia menghinakan umatnya yang memendam cinta?
Janganlah engkau berlagak mulia,
Dengan menganggap bahwa cinta itu hina.
(Syair Ibnu Hazm)
Di dalam buku Menghidupkan Pesona Cinta, saya telah membahas tentang cinta secara umum; bagaimana kita mengelola cinta agar dengannya kita menjadi kesatria, bukan budak yang tidak berdaya. Pada kajian kali ini, kita akan membahas cinta dalam salah satu aspeknya, yakni cinta terhadap lawan jenis yang menjadi pasangan kita.
Pada prinsipnya, cinta adalah sifat Allah Swt. yang juga tertanam pada diri kita, khalifah-Nya. Serupa dengan sifat-sifat kita yang lain, semisal pemaaf, ringan tangan untuk memberi, belas kasih, dan sebagainya. Maka, kita mestilah menggunakan karunia-Nya ini sesuai dengan cara yang telah diajarkan-Nya.
Sahabatku, bagaimanakah cara mencintai yang benar sesuai ajaran Allah Swt.?
Hal paling utama yang harus kita lakukan adalah ikhlas dalam mencintai. Ikhlas, dari segi bahasa artinya adalah murni dan asli, tidak ada campuran apa pun. Maka, ikhlas dalam mencintai artinya cinta kita harus murni untuk Allah Swt. Itu yang pertama dan utama.
Ketika kita berikrar, “Laa ilaaha illallaah (tiada tuhan selain Allah),” menurut para ulama, salah satu maknanya adalah “tiada yang dicintai selain Allah”. Kata “ilaaha” dalam kalimat syahadat itu mengandung lima arti, yakni Al-Ma’bud (yang disembah), Al-Mutha’ (yang ditaati), Al-Marghub (yang diharapkan), Al-Marhub (yang ditakuti), dan Al-Mahbub (yang dicintai). Itu artinya, cinta kita kepada siapa dan apa pun, haruslah bermula dari cinta kepada Allah Swt.
Sahabatku, bila cinta kita ikhlas, maka cinta kita itu akan menjadikan kita semakin dekat kepada Allah Swt. Sebaliknya, kalau tidak ikhlas, maka cinta itu akan menjauhkan kita dari-Nya. Akibat dari cinta yang tidak ikhlas ini bisa fatal, membahayakan hidup kita di dunia dan akhirat.
Mari kita lihat satu kisah. Saya dapatkan kisah ini dari tulisan Dr. ‘Aidh Al-Qarni. Pernah ada seorang laki-laki yang rajin beribadah, juga seorang penghafal Al-Qur’an. Ia selalu berjalan ke masjid setiap kali waktu shalat telah tiba. Suatu waktu, ketika ia sedang berjalan ke masjid, langkahnya teralihkan oleh seorang wanita yang dipandangnya elok wajahnya. Ia membatalkan langkah ke masjid, ia membuntuti wanita itu.
Singkatnya, ia menyatakan keinginannya untuk menikah dengan wanita tersebut. Namun, ternyata cintanya tidak bisa bersambut. Ada tembok pemisah yang tak memungkinkan mereka berpadu, kecuali merobohkannya terlebih dulu.
“Aku tidak bisa menikah denganmu. Agama kita berbeda,” terang wanita itu.
Keindahan-keindahan cinta diperlihatkan setan di pelupuk matanya, maka tanpa ragu lagi sang penghafal Al-Qur’an itu pun memutuskan untuk tetap menikahi wanita pujaannya, meskipun agama menjadi taruhan cinta.
Sahabatku, apa yang terjadi pada lelaki itu?
Seseorang yang mengenalinya bertanya kepadanya, “Dulunya, engkau adalah seorang penghafal Al-Qur’an. Sekarang, apakah masih ada yang tersisa di benakmu dari Al-Qur’an?”
Lelaki itu mencoba mengingati, lalu dengan air mata terurai, dibacakannya sepenggal ayat yang bisa diingatinya. Hanya sepenggal ayat ini. Surat Al-Hijr ayat 2.
“Orang-orang kafir itu sering kali (nanti di akhirat) menginginkan sekiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.”
Sahabatku, bukankah terlihat jelas bahwa itu merupakan peringatan dari Allah Swt.? Allah kuasa menghapus semua hafalan Al-Qur’annya, lalu menyisakan sepenggal ayat ini agar ia selalu ingat. Kita tidak tahu bagaimana kelanjutan kisah lelaki tadi, tapi kalau dia tidak bertaubat (kembali kepada keimanan dan cinta kepada Allah), maka azab-Nya sudah dipastikan datang. Sungguh, tidak ada seorang pun yang sanggup menahankan sedikit pun azab Allah.
Mari kita tinggalkan kisah ini, lalu tengok kisah lain yang memukau dan menakjubkan.
Sejarah mencatat nama Al-Ghumaidha binti Milhan, yang biasa disebut Ummu Sulaim. Wanita mulia ini ialah istri Abu Thalhah. Kisah pernikahan mereka sering dijadikan inspirasi cinta sejati, cinta yang ikhlas.
Abu Thalhah datang meminang Ummu Sulaim. Waktu itu, Abu Thalhah belum masuk Islam, sementara Ummu Sulaim sudah menjadi seorang muslimah yang taat.
Dijawablah pinangan itu oleh Ummu Sulaim, “Sesungguhnya, Abu Thalhah, tidaklah layak bila pinangan dari seorang sepertimu ditolak. Hanya saja, engkau adalah seorang kafir, sedangkan aku muslimah. Tidak halal bagiku menikah denganmu. Akan tetapi, bila engkau masuk Islam, cukuplah itu menjadi maharku, aku tidak meminta yang selainnya lagi.”
Ketertarikannya pada sosok Ummu Sulaim ternyata menjadi jalan hidayah bagi Abu Thalhah. Masuklah beliau ke dalam Islam, lalu mereka menikah. Pernikahan mereka dilimpahi berkah dari Allah Swt.
Ummu Sulaim mengajarkan kepada kita seperti apa cinta yang ikhlas itu. Cinta utama kita adalah hak Allah Swt. Kita tidak boleh melanggarnya. Maka, kita tidak boleh mencintai seseorang bila cinta kepada Allah tersalahi karenanya.
Sahabatku, bagaimanakah cinta kita? Apakah kita sudah ikhlas mencintai? Semoga Allah Swt. selalu menuntun langkah hati kita.