Hukum Khitan, Sunat, atau Sirkumsisi dalam Islam
Dalam beberapa keterangan menyebutkan, praktik sirkumsisi (khitan/sunat) termasuk bagian dari operasi. Sehingga spesifikasi hukumnya senantiasa diwarnai polemik.
Baca juga: Waktu Khitan yang Baik Menurut Islam
Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Lima hal yang termasuk fitrah, khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabuti bulu ketiak, memotong kuku, dan mencukur kumis.”
Hadis di atas dijadikan oleh pakar hukum Islam sebagai batu pijakan legalitas khitan. Karena lafaz “fitrah” lazim digunakan untuk perkara yang terpuji. Oleh karena itu, Ulama mengategorikan khitan sebagai tindakan yang terpuji pula.
Terkait hal ini, al-Syaikhuni menuturkan, apabila semua praktik dalam hadis di atas dilakukan, pelakunya akan dianggap fitrah (suci). Maka, Allah Swt. memanifestasikan sifat fitrah atas hamba-hambanya, agar mereka berada dalam sifat dan keadaan paling sempurna.
Konsensus ulama turut menegaskan terkait legalitas dan disyariatkannya operasi khitan. Seperti yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hazm,
“Pakar hukum telah bersepakat, seorang yang telah mengkhitan anaknya, maka ia dibenarkan.”
Para sarjana Islam hanya berselisih tentang pengerucutan hukumnya, apakah termasuk kewajiban atau hanya sebatas sunah? Setidaknya silang sangkut pendapat ini tidak sampai memecah kebulatan ijmak atas legalitas operasi khitan.
Secara umum, perselisihan pendapat ini terbagi dalam tiga kubu:
1. Wajib Bagi Laki-laki dan Perempuan
Pendapat ini dipilih oleh kalangan Syafi’i, Hambali, dan sebagian ulama Maliki. Mereka mewajibkan sirkumsisi secara mutlak, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Konklusi hukum yang mereka kemukakan berpijak pada dalil Al-Qur’an, Hadis, serta analogi akal.
Dalam Al-Qur’an disebutkan:
۞ وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ ١٢٤
(Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.
Makna “diuji” di sini adalah ujian, cobaan, dan makna serupa lainnya. Umumnya, digunakan untuk mewakili suatu kewajiban.
Dari sinilah titik awal ulama menafsiri ayat di atas sebagai bentuk kewajiban khitan atas baginda Nabi Ibrahim As.
Lantas, kewajiban ini diteruskan oleh Nabi Muhammad SAW melalui perintah Allah Swt., seperti yang tertuang dalam firmannya,
ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ١٢٣
Kemudian, Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim sebagai (sosok) yang hanif dan tidak termasuk orang-orang musyrik.
Ayat di atas diinterpretasikan oleh ulama sebagai suatu kewajiban untuk mengikuti agama baginda Nabi Ibrahim As.
Kemudian perintah ini menjadikan khitan sebagai kewajiban yang dibebankan kepada baginda Nabi Agung Muhammad Saw.
Sesuai dengan kaidah usul fikih, “Status wajib tersebut tidak akan mengubah kecuali ada dalil lain.”
Ada pula hadis yang kemudian dipahami sebagai kemutlakan wajibnya berkhitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan,
“Barang siapa yang masuk Islam, maka berkhitanlah, meskipun sudah dewasa.” (HR. Ahmad)
Sedangkan dalam penalaran rasional sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Al-Majmu’ Imam Nawawi. Dimulai dari kerangka pemahaman atas bolehnya membuka aurat bagi orang yang berkhitan. Sedangkan hukum telah memastikan haramnya membuka ataupun memperlihatkan aurat, kecuali dalam keadaan darurat atau pengobatan.
Logika ini membuktikan bahwa jika memang khitan bukanlah hal yang wajib, mengapa dalam prosesnya diperbolehkan membuka aurat?
Sedangkan dalam khitan, ada desakan yang menuntut adanya keringanan atau rukhsah dari agama, seperti lazimnya praktik operasi. Maka, kewajiban khitanlah yang menjadi dalang di balik diperbolehkannya membuka aurat.
2. Sunah bagi Laki-laki dan Perempuan
Dalam dimensi hukum sunah, muncul beberapa nama besar yang lebih gemar berpegang pada hukum ini, seperti Imam Malik dan satu keterangan milik Imam Ahmad. Ada juga keterangan Mazhab Hanafi yang berpendapat mengenai kesunahan khitan.
Nabi Saw. bersabda,
“Fitrah Islam itu lima, khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabuti bulu ketiak, mencukur kumis, dan memotong kuku.”
Hadis di atas diyakini sebagai aksioma yang relevan dengan opini hukum sunah. Mereka yang mengatakan sunah berdalih, pada hadis tersebut menyebutkan hal-hal yang kesemuanya adalah sunah, sehingga khitan sebagaimana yang ikut tertera juga merupakan bagian dari kesunahan.
Berbeda dengan para ulama yang mewajibkan khitan, mereka tidak sepakat jika hadis di atas dijadikan dalil. Selain faktor penilaian lemah, dalam disiplin ilmu hadis, kalimat “sunah” tidak bisa diartikan sebagai perbandingan hukum wajib.
Pada akhirnya term “sunah” pada hadis di atas mereka arahkan pada perbedaan tingkat hukum yang melekat pada laki-laki dan perempuan.
3. Wajib bagi Laki-laki, dan Kemuliaan bagi Perempuan
Pendapat terakhir ini digunakan oleh Imam Ahmad, sebagian besar mazhab Maliki, dan Ulama Zahiriah. Secara pasti, dalil yang dijadikan pijakan oleh kelompok ini tidak ada bedanya dengan dua pendapat sebelumnya.
Hanya saja, selain dalil nash, kelompok ketiga ini memandang kewajiban khitan bagi laki-laki lebih dilandasi karena sulitnya mensucikan anggota (kepala zakar), karena tertutup oleh kulup yang belum dipotong. Hal seperti ini tidak dijumpai bagi perempuan.
Selain karena tidak mengganggu prosesi taharah, tujuan utama khitan bagi perempuan adalah lebih dititikberatkan terhadap proteksi label “kesucian”.
Artinya, agar perempuan tidak mudah tergoda dan tersungkur dalam lubang kenistaan yang merusak kesuciannya.
Langkah preventif ini perlu dilakukan karena perempuan memiliki organ yang mudah sekali terangsang. Tetapi tetap memperhatikan hak perempuan, yakni untuk mendapatkan titik klimaks dalam pemenuhan kebutuhan biologis bersama suami sahnya.
Maka tidak mengherankan jika kelompok ini lebih senang melabeli hukum khitan bagi perempuan sebagai sebuah kemuliaan.
Demikian tiga perspektif hukum mengenai khitan, sunat, atau sirkumsisi dalam Islam. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A’lam
Sumber referensi:
Nail al-Autar, (1/112)
Ibn Hazm al-Andalusi, Muratib al-Ijma’, (123)
An-Nawawi, Syarah Muhazab, (1/300)
Abu Hasan Ali al-Mardawi, Al-Insa fi Ma’rifah al-Rajih min al-Khilaf, (1/121)
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (1/342)
Imam Ahmad bin Hambal, al-Musnad, (3/415)
Al-Ahkam al-Jiruhah, (164)
Syihabudin al-Zuruq, Syarah al-Risalah, (1/394)
Muhammad bin Ahmad al-Sarkhasi, Al-Mabsut, (1/156)
Faid al-Qadir, (3/503)
Muhammad bin Ismail al-Hasany, Al-Tanwir Syarah al-Jami’ al-Saghir, (6/48)
Ibn Qudamah, al-Mughni, (1/85-86)