Awas! Jangan Mengincar Harta dan Kedudukan Suami
Salah satu alasannya karena di kota para wanita bekerja. Mereka punya gaji sendiri. Penghasilan mereka besar. Terkadang pada saat liburan, sering kita dapati mal-mal penuh sesak oleh para wanita.
Di hari kerja, mereka mengadakan meeting di restoran mahal. Mereka juga mengadakan arisan dan berbagai macam perkumpulan sosialita di tempat-tempat yang mewah.
Dalam keadaan begitu, mereka merasa nyaman dengan teman-teman, lingkungan, dan gaya hidupnya. Bahkan sampai lupa kalau ia belum menikah dan umur terus bertambah.
Di kala mencapai usia yang sudah cukup matang, muncullah desakan dari orang-orang di sekitarnya, “Kapan nikah? Keburu tua, lho! Rugi kalau nggak punya anak!” dan ungkapan sejenisnya.
Maka dari itu, di usia yang sangat matang itu, mulailah mereka “berburu” laki-laki. Mulai minta tolong ke teman, saudara, dan kenalan. Kalau ada pria yang minimal gaya hidupnya seperti wanita itu, dia baru mau menikah.
Dari kasus di atas, banyak para wanita yang akhirnya memiliki selera tinggi. Mereka ingin calon suami yang memiliki posisi tinggi. Mereka ingin mencari pasangan yang penghasilan atau gajinya di atas wanita itu.
Wanita yang terlanjur hidup enak dan gaya hidupnya tinggi seolah-olah menganggap bahwa dengan menikah, maka segalanya akan “pensiun”, redup, tamat, baik karir, jabatan, maupun perkumpulannya dengan para sosialita.
Seakan menjadi fobia karena nanti setelah menikah tidak bisa “nongki” lagi dengan teman-teman, harus mengurus anak dan suami, berlepotan panci gosong di dapur, kecipratan minyak panas, dan urusan rumah tangga lainnya.
Karena itulah para wanita di kota kesulitan untuk mencari calon suami yang tepat, karena idealismenya yang masih tinggi. Polanya cukup simpel, mereka tidak ingin sengsara ketika sudah bersuami dan menikah.
Sekurang-kurangnya bila karirnya tamat, suaminya bisa menopang dan memberikan penghasilan yang lebih, di mana ia masih bisa berbelanja, makan-makan, menonton bioskop, dan lain sebagainya.
Ada sebuah kelakar tentang perjodohan, di mana dalam usia yang semakin tua, selera wanita dalam memilih calon suami akan semakin menurun.
Di usia 17-25 tahun, si wanita menginginkan suami yang tampan, mapan, tajir melintir, dan bos muda.
Ketika usianya 26-35 tahun, seleranya menurun. Wajah pas-pasan pun tidak masalah, yang penting bisa untuk investasi di hari tua.
Namun ketika usianya sudah di angka 36 tahun ke atas, yang penting calon suaminya itu laki-laki dan masih manusia. Itu saja.
Namun, sekalipun para perawan tua di kota banyak yang belum berjodoh, di sana belum menikah di usia yang sudah semakin tua bukanlah aib.
Hal ini berbeda sekali dengan kondisi di desa. Di desa, umur 12-14 tahun orang tuanya akan merasa resah bila belum ada laki-laki yang menanyakannya.
Di desa, kebanyakan wanita menikah muda. Kebanyakan dari mereka setelah lulus SMA, SMP, bahkan lulusan SD. Dan kriteria suami yang dicari tidaklah muluk-muluk. Mereka hanya butuh laki-laki yang bertanggung jawab terhadap hak dan kebutuhan istrinya.
Seorang istri yang baik akan selalu bersyukur seberapa pun besar pemberian suaminya. Ia akan menggunakan sesuai porsinya dan tidak boros.
Boros bisa berarti berlebihan dari yang seharusnya. Ada pepatah yang berkata, “Besar pasak daripada tiang.” Jika penghasilan suami hanya cukup untuk belanja di warung dan setiap belanja hanya Rp. 10.000 saja, maka jangan merajuk apalagi menyindir untuk mengajak makan di luar, yang sekali makan bisa mencapai Rp. 100.000.
Jika penghasilan suami hanya cukup untuk membeli bedak di warung, janganlah beli yang bermerek yang seharunya bisa dihemat untuk keperluan yang lain.
Apa gunanya mengincar kedudukan calon suami, seperti jabatan dan pangkat. Apalagi hal itu yang kita utamakan. Padahal, kita juga tidak tahu nasib seseorang.
Pangkat bisa diturunkan, kekayaan bisa habis karena musibah, kedudukan bisa dimutasi. Jadi, apa yang benar-benar dapat dibanggakan?
Carilah suami yang saleh saja, yang bisa membimbingmu ke akhirat. Itu jauh lebih berharga nilainya daripada dunia dan seisinya. Wallahu A'lam