Hukum Operasi Selaput Dara (Keperawanan) dalam Islam
Namun demikian, agama menilai permasalahan ini sebagai problem yang cukup kompleks. Bukan sekedar urusan penipuan terhadap calon suami semata. Sebab jika hanya demikian, permasalahan ini mungkin akan selesai jika operasi ini dilakukan oleh perempuan yang sudah bersuami.
Pada dasarnya, kajian tentang operasi keperawanan masih menjadi perbincangan hangat di kalangan cendekiawan muslim. Di antara mereka mengatakan, operasi ini mutlak haram, baik selaput dara hilang sebab hubungan badan dalam ikatan pernikahan ataupun karena perzinaan.
Dalam ruang lingkup keharaman ini, mereka mencoba memosisikan operasi keperawanan seperti halnya menampakkan kemungkaran, sehingga layak untuk diberi label haram. Bahkan menurut mereka, dokter yang menanganinya juga dianggap membukakan pintu bagi perempuan untuk meremehkan urusan perzinaan. Sebab mereka akan dengan mudah mengembalikan kepercayaan setelah melakukan persetubuhan.
Sebenarnya ulama yang tidak memperbolehkan ini juga mengakui keberadaan sisi positifnya. Hanya saja mereka menganggap angka negatif yang muncul justru lebih besar daripada manfaatnya. Sehingga mereka tetap bersikukuh dengan hukum haram.
Alasan-alasan di atas tampaknya tidak diterima begitu saja oleh sebagian cendekiawan muslim lainnya. Sekalipun ada sebagian argumen yang diterima, tetapi mereka tidak sepakat atas klaim mutlak mengenai hukum haramnya. Kelompok kedua ini justru lebih memihak argumen-argumen lain yang masih memberikan klasifikasi hukum operasi keperawanan.
Dari pendapat kedua ini, akhirnya didapati beberapa putusan hukum. Mulai dari haram, sunah, bahkan menjadi wajib. Keputusan hukum ini dilatarbelakangi oleh perbedaan cara pandang mereka atas dalil. Setidaknya ada tiga keadaan yang teridentifikasi dari pembahasan mereka.
1. Operasi selaput dara yang dihukumi wajib
Operasi selaput dara dihukumi wajib ketika hilangnya selaput tersebut karena kecelakaan. Seperti karena terjatuh, temperatur tubuh yang sangat tinggi ketika haid, ataupun sebab korban pemerkosaan.
Tetapi perlu diperhatikan, operasi keperawanan ini akan menjadi wajib hanya ketika si perempuan memiliki dugaan kuat akan “mengalami penderitaan” serta “cacian ketika diketahui orang lain”. Lain halnya jika ia menduga tidak akan mengalami hal tersebut, maka hukumnya menjadi sunah. (Selebihnya akan dibahas di penutup)
2. Operasi selaput dara yang dihukumi haram
Operasi selaput dara dihukumi haram ketika pengembalian keperawanan yang bermula dari persetubuhan, baik dalam ikatan perkawinan ataupun perzinaan yang telah masyhur di kalangan masyarakat.
3. Operasi selaput dara yang dihukumi mubah
Operasi selaput dara dihukumi mubah ketika alasan mutlaknya adalah untuk "menutupi rapat-rapat aib tersebut". Hilangnya selaput dara akibat perzinaan belum masyhur di kalangan masyarakat masuk pada bagian ini, sehingga operasi ini dirasa tepat untuk memutus potensi “terciumnya” perilaku buruk yang kelak mengemuka di kalangan masyarakat, sehingga melakukannya sama saja menjalankan perintah agama, yakni “menutup aib”.
Terkait kondisi pertama, yakni hilangnya selaput dara kecelakaan atau menjadi korban pemerkosaan, para ulama berdalih bahwa perempuan dalam kasus ini terbatas dari kesalahan dan dosa. Maka, jika kita memperbolehkan praktik operasi keperawanan kepadanya, sama saja kita telah menutup pintu prasangka buruk masyarakat kepada mereka. Akhirnya, praktik ini menjadi bentuk usaha untuk menghilangkan kezaliman yang akan mereka terima.
Sebab jika praktik operasi tidak dilakukan, akan ada dampak-dampak buruk yang akan muncul di kemudian hari. Seperti jika calon suaminya mengetahui, niscaya ia sekeluarga akan merasa disakiti. Terlebih jika apa yang dialami si perempuan menyebar di tengah masyarakat, akan banyak orang yang menjauhinya. Dengan alasan tersebut, maka diperbolehkanlah praktik operasi ini.
Alasan lainnya, operasi keperawanan atau selaput dara ini merupakan bentuk dari penyetaraan gender, antara laki-laki dan perempuan. Ketika laki-laki melakukan “kekejian” tersebut, dia tidak mengalami dampak apapun di tubuhnya. Maka seharunya seorang perempuan juga mengalami hal yang sama, tujuannya agar terbentuk suatu keadilan yang menjadi tujuan syariat Islam antara laki-laki dan perempuan.
Penutup
Yang perlu digaris bawahi adalah alasan ini tidak bisa diterapkan pada contoh konsekuensi hukum kedua. Karena jika dilegalkan, justru lebih mengarah pada argumen-argumen hukum mutlak tentang haramnya operasi tersebut.
Pada akhirnya, tidak ada satupun ulama yang membolehkan operasi keperawanan jika selaput dara hilang karena perzinaan yang telah masyhur di kalangan masyarakat ataupun karena persetubuhan dalam hubungan akan pernikahan. Tetapi jika keperawanan hilang karena sebab-sebab yang lain, maka status hukumnya masih menjadi perdebatan para ulama.
Adalah benar jika silang pendapat tersebut tidak bisa dihindari. Tetapi, beberapa kalangan ulama lebih sepakat dengan kemutlakan hukum haram. Seperti yang telah dirumuskan dalam Forum Musyawarah Pondok Pesantren se-Jawa Madura di Ponok Pesantren Miftahul Ulum al-Yasini Pasuruan. Kegiatan Bahtsu Masail ini akhirnya merumuskan, hukum operasi keperawanan atau selaput dara adalah haram. Sedangkan alasan “mengembalikan selaput dara”, belum dianggap cukup untuk melegalkan tindakan operasi. Bahkan alasan ini dianggap masih lemah dalam melegalkan seseorang melihat farji (melihat kemaluan orang lain). Karena pada dasarnya Islam melarang keras untuk melihat farji.
Demikian pembahasan singkat mengenai hukum operasi keperawanan atau selaput dara dalam Islam. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A’lam
Sumber Referensi:
Al-Ahkam Al-Jiruhah, h. 434.
Fiqih Kedokteran Pondok Lirboyo, h. 182.
Nu Online.