Hubungan Kedokteran dengan Maqashid Syariah dalam Islam
Maqashid Syariah ini bertujuan agar ditemukannya atau disarikannya sumber utama hukum Islam dan harus senantiasa dijaga dari saat memutuskan perkara hukum.
Konsep yang diusung mencakup lima hal, yaitu; hifdz ad-din (menjaga pilar agama), hifdz an-nasl (menjaga keturunan), hifdz al-‘aql (menjaga akal), hifdz al-mal (menjaga harta benda), dan hifdz al-‘irdh (menjaga kehormatan). Kesemuanya dirangkum ke dalam Maqashid Ad-Dharuriyyat.
Seluruh aturan buku dalam syariat Islam dipercaya tertuang dalam ide-ide pokok tersebut. Mulai hukum diberlakukannya had dan kisas, sebagai bentuk aplikasi dari gagasan hifdz al-nasl (menjaga keturunan). Kewajiban salat dan zakat, sebagai bentuk aplikasi gagasan hifdz ad-din, dan masih banyak lagi.
Maqashid Syariah sebenarnya sudah bisa dikatakan menjadi tema yang berdiri sendiri setelah fikih, usul fikih, dan kaidah fikih. Bahkan telah menjadi bahasan utama untuk penelitian-penelitian akademik, baik di lingkup lokal maupun non lokal.
Pada masa awal perkembangan Islam, orang tidak mengenal apa itu Maqashid Syariah. Karena ide ini tergolong plot baru dalam khazanah ilmu pengetahuan.
Apabila kita renungkan sejenak, Maqashid Syariah adalah umpama pengayaan fikih. Ia mencoba mengakomodasi seluruh rumusan dalam fikih, dan dicarikan titik kulminasinya.
Maka, dalam beberapa kitab usul fikih, kajian Maqashid Syariah tidak begitu dilirik. Karen konsep ini lebih seperti menekankan tinjauan falsafi yang tidak mampu menelurkan satu hukum baru. Ia hanya diformulasikan untuk merangkul dan menyatukan seluruh pokok pikiran dari rumusan fikih yang telah lebih dulu ada.
Istilah Maqashid Syariah mulai digunakan pada abad ke-10, dalam tulisan Abu Abdillah al-Tirmidzi Al-Hakim. Rujukan lainnya muncul berulang kali dalam karya Imam Al-Haramain Al-Juwayni. Beliau adalah orang pertama yang mengklasifikasi Maqashid Syariah dalam tiga pilar utama, yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder), dan tahsiniyat (tersier).
Ketiga ide pokok inilah yang terus dikaji dan dikembangkan oleh murid-murid beliau. Salah satunya adalah Al-Ghazali dalam kitab Al-Musytasyfa-nya dalam melahirkan konsep kulliyat al-khams.
Secara sederhana, hubungan erat antara ide Maqashid Syariah dan ilmu kedokteran dapat ditinjau dari beberapa perspektif. Kesemuanya diuraikan secara padat oleh Dr. Ali Muhyiddin dan Dr. Ali Yusuf Al-Muhammadai. Kedua tokoh ini adalah dosen senior di Universitas Qatar. Berikut beberapa aspek yang mereka jelaskan:
1. Menjaga Kesehatan Jiwa dan Raga adalah Perkara yang Substantif
Islam mengajarkan untuk selalu menjaga diri dari hal-hal yang bisa membahayakan jiwa maupun raga. Cita-cita ini bisa tercapai salah satunya adalah dengan cara senantiasa menjaga kesehatan lahir dan batin, tidak melakukan hal-hal bodoh yang bisa merusak kesehatan, baik fisik maupun psikis.
2. Menolak Marabahaya dan Setiap Hal Buruk dan Membahayakan
Salah satu cita-cita mulia Maqashid Syariah adalah mencegah timbulnya kemudaratan. Mengenai hal ini, Allah SWT telah berfirman:
اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ࣖ
"(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang beruntung." (QS. Al-A’raf: 157)
Setidaknya, dengan mempelajari ilmu kedokteran, manusia bisa menjaga diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tampak baik-baik saja, namun sebetulnya membahayakan. Atau melakukan sesuatu berdasarkan suatu mitos tertentu, yang belakangan justru tidak terbukti kebenarannya.
3. Perintah Berobat
Islam tidak menganjurkan untuk berpangku tangan saat sakit. Perintah untuk bertawakal dan berpasrah diri memang ada, namun tidak bisa diartikan sebagai kepasrahan mutlak. Sebagai insan, kita tetap dianjurkan untuk berobat bila sakit, sebelum akhirnya harapan terakhir adalah benar-benar berpasrah diri.
Alkisah, Rasulullah SAW pernah didatangi seorang Badui yang sedang sakit. Kemudian si Badui itu menanyakan perihal kondisinya pada Nabi SAW.
“Wahai Rasulullah, apakah saya diperkenankan berobat?” tanya si Badui itu. Kemudian Rasulullah SAW menjawab,
“Ya, tentu saja. Wahai hamba Allah, berobatlah. Karena sesungguhnya Allah SWT tidak pernah menciptakan penyakit melainkan menciptakan pula obatnya, kecuali satu penyakit (yang tidak ditemukan obatnya).”
Kecuali satu penyakit? Mendengar perkataan tersebut, para sahabat pun lantas bertanya-tanya, penyakit apa yang dimaksud Nabi. Kemudian Nabi SAW menjawab,
“Itu adalah penyakit tua dan pikun.”
Berobat sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip tawakal. Bahkan kesempurnaan tauhid dan keimanan tidak akan terwujud kecuali dengan menempuh berbagai sebab yang akibatnya telah diciptakan oleh Allah. justru dengan tidak berobat, hal itu akan merusak nilai tawakal itu sendiri, karena termasuk mengabaikan perintah syariat.
Uraian di atas memberikan kejelasan bahwa ada keterkaitan erat antara perintah berobat serta memelihara kesehatan. Hadis di atas juga memberikan anjuran tegas kepada umat Islam untuk berobat tatkala sakit.
Demikian hubungan antara Maqashid Syariah dengan ilmu kedokteran. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A’lam
Sumber:
Wikipedia
Abdul Karim Ziydan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh.
Hasyim Kamali, Membumikan Syariat.
Abdul Hamid Al-Ghazali, Al-Musytasyfa.
Fiqh al-Qadaya
Musnad Ahmad, hadis ke-18.366
Nadiyah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam Al-Qur’an.