Hukum Meninggalkan Salat Jumat di Masa PPKM
Pengertian salat Jumat
Salat Jumat merupakan ibadah fardu (wajib) yang harus dilakukan oleh setiap laki-laki muslim yang berakal, sudah balig, dan tidak memiliki halangan yang dibenarkan secara syara’.
Seperti namanya, salat Jumat adalah salat yang dilakukan di hari Jumat untuk menggantikan salat Zuhur, dilakukan secara berjamaah, dan harus diikuti minimal 40 orang.
Hukum salat Jumat
Seperti yang sudah kami singgung di atas, salat Jumat hukumnya wajib ‘ain, bukan kifayah. Artinya, ibadah ini diwajibkan oleh setiap mukalaf (individu), bukan kewajiban kifayah yang akan gugur apabila sudah ada yang melakukannya.
Adapun golongan yang wajib melaksanakan salat Jumat di antaranya yaitu, muslim yang sudah balig, berakal, laki-laki, merdeka, bukan musafir (orang yang sedang bepergian), dan tidak memiliki halangan atau uzur yang dibenarkan secara syara’.
Sedangkan yang tidak wajib melaksanakan salat Jumat di antaranya yaitu, hamba sahaya (budak), musafir, wanita, anak yang masih kecil (belum balig), orang sakit, gila, ayan, tidur pulas, dan mualaf yang memiliki uzur, seperti Dokter yang tidak bisa meninggalkan pasiennya.
Ancaman bagi yang meninggalkan salat Jumat
Adapun ancaman bagi laki-laki yang meninggalkan salat Jumat atau meremehkan salat Jumat selama tiga kali berturut-turut, adalah akan ditutup hatinya dari rahmat dan hidayah dari Allah Swt.
Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Hendaklah orang yang suka meninggalkan salat Jumat untuk menghentikan perbuatan mereka, atau Allah Swt. akan membutakan hati mereka dan mereka akan benar-benar menjadi orang yang lalai.” (HR. Muslim)
Di dalam hadis lain, Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Barangsiapa yang mendengar azan Jumat tiga kali, kemudian ia tidak menghadirinya, maka ia akan dicatat sebagai orang munafik.” (HR. Thabrani)
Sedangkan menurut versi Ibnu Majah, “Barangsiapa yang meninggalkan salat Jumat tiga kali, bukan karena uzur, maka Allah akan mengunci hatinya.” (HR. Ibnu Majah No. 1126)
Versi di atas sejalan dengan riwayat Ahmad, “Barangsiapa yang meninggalkan salat Jumat tiga kali karena meremehkan, maka Allah akan mengunci hatinya.” (HR. Ahmad)
Rukhsah meninggalkan salat Jumat
Rukhsah adalah keringanan yang diperuntukkan kepada orang-orang yang memang berhak. Artinya, ada satu keadaan di mana seseorang tidak dibebankan menjalankan aturan atau kewajiban karena alasan-alasan tertentu.
Hukum salat fardu sambil berdiri adalah wajib. Tetapi bagi mereka yang tidak mampu, cukup baginya sambil duduk atau dengan posisi tidur. Itulah contoh kecil dari rukhsah.
Rukhsah juga dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang demi mempertahankan keselamatan jiwa. Misal, hukum memakan bangkai adalah haram. Tetapi hukumnya menjadi halal apabila tidak ada makanan lain selain bangkai tersebut, dan ia akan mati jika tidak memakan bangkai tersebut.
Rukhsah salat Jumat berlaku untuk mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat diwajibkannya salat Jumat, seperti anak kecil, orang sakit, wanita, orang gila, orang yang ketiduran, musafir, dan lain sebagainya.
Hukum meninggalkan salat Jumat di Masa PPKM
Nah, kita ke inti pembahasan, apakah kebijakan PPKM (Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) ini termasuk salah satu uzur yang membuat seseorang mendapatkan rukhsah atau keringanan untuk tidak melaksanakan salat Jumat?
Seperti apa yang sudah dikaji oleh MUI, bahwa situasi Covid-19 ini sudah masuk pada kriteria al-Dlarar, yang artinya, sudah masuk kriteria keadaan darurat.
Dalam Islam, uzur jenis “darurat” ini membenarkan adanya pengambilan sikap yang bijak dalam memahami situasi dan kondisi, khususnya dalam melakukan perbuatan yang dilarang (meninggalkan salat Jumat) demi mempertahankan keselamatan jiwa.
Bahkan, demi menyelamatkan masyarakat dan bangsa dari ancaman Covid-19 yang sangat membahayakan ini, meninggalkan salat Jumat merupakan anjuran yang sangat ditekankan.
Para ulama fukaha sepakat bahwa salah satu uzur salat Jumat adalah orang yang sakit dan orang yang takut sakit. Orang yang sudah terinfeksi Virus Covid-19, gugur baginya melaksanakan salat Jumat dan menggantinya dengan salat Zuhur. Orang yang takut tertular juga boleh tidak melaksanakan salat Jumat.
Dikutip dari Kitab Al-Minhajul Qawim karya Ibnu Hajar Al-Haitami, berikut beberapa uzur yang dapat menggugurkan kewajiban salat Jumat:
- Hujan yang dapat membasahi pakaiannya;
- Salju;
- Dingin baik siang maupun malam;
- Sakit berat yang membuatnya sulit untuk pergi salat Jumat; dan
- Kekhawatiran atas keselamatan jiwanya, harta bendanya, dan kehormatan dirinya.
Angka 66.000 orang dari jumlah kematian di Indonesia (saja) tentu bukanlah jumlah yang sedikit. Maka tidak salah apabila wabah ini sudah masuk pada kriteria darurat yang mengancam keselamatan jiwa. ( Angka kematian sejak artikel ini dibuat)
MUI dan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) pun sepakat mengenai peniadaan salat Jumat ini, khususnya pada daerah-daerah yang sudah terjangkit COvid-19.
Namun sangat disayangkan, fakta sosial membuktikan, masih banyak dari masyarakat Indonesia yang kurang percaya dengan pandemi ini. Ada yang mengatakan bahwa ini adalah “perang farmasi”, “penjajahan Cina”, “Pelecehan agama”, dan lain sebagainya.
Menurut survei Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan RRI kepada 400 responden dengan margin of error 4,9% dan tingkat kepercayaan 95%, ada 68% masyarakat yang khawatir dengan wabah Covid-19. Dari persentase tersebut ada 46,8% yang tidak percaya bahwa Covid-19 dapat menyebabkan kematian. Ada 17,8% masyarakat Indonesia yang khawatir bahwa virus tersebut menyebabkan kematian, dan hanya 8,5% yang percaya dan takut terinfeksi Covid-19.
Dari data survei itulah dapat disimpulkan bahwa pro kontra mengenai kebijakan ini tentunya tidak dapat dihindarkan. Masih banyak masyarakat yang abai dan membandel, khususnya di daerah pedesaan yang mayoritasnya adalah pemeluk Islam tradisional yang cara beragamanya masih menggunakan taklid dan kebiasaan, bukan berbasiskan ilmu keislaman.
Itulah kajian singkat mengenai Hukum Meninggalkan Salat Jumat di Masa PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat). Hukum ini tentu bukanlah hukum mutlak yang 100% dibenarkan. Hukum ini dibuat atas dasar maqasid syariah atau demi kemaslahatan umat manusia yang dipertimbangkan dengan penuh kehati-hatian. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A'lam