Kisah Inspiratif! Begitu Mudah Allah Membalikkan Hati Seseorang
Waktu berjalan kurang lebih satu tahun. Dia lalu menawariku sebuah peluang bisnis yang sangat menggiurkan. Sebuah bisnis berbasis perminyakan. Dengan modal nekat akhirnya aku mengiyakan penawarannya. Aku sangat percaya kepadanya. Untuk mengawali bisnis itu aku perlu mengeluarkan modal sebesar dua puluh lima juta.
“Uang dari mana?” pikirku.
Maklum saat itu aku tidak punya apa-apa. Yang kumiliki hanyalah semangat. Kemudian, demi mewujudkan keinginan itu aku berusaha mencari pinjaman ke sana ke mari dan akhirnya uang pun aku dapatkan. Di samping bisnis yang akan kujalankan itu, Sukirman juga memberikan informasi kepadaku bahwa di perusahaan tempat ia bekerja membuka lowongan pekerjaan. Kesempatan itu pun aku sampaikan kepada teman-temanku yang memang saat itu belum mempunyai pekerjaan. Dengan antusias mereka merespon kabar tersebut.
Rupanya tidak sekadar melamar, untuk memasuki lowongan itu ternyata harus ada “uang pelicin”. Saat itu ada dua temanku yang tergiur. Maka uang pun disetor kepada Sukirman melalui rekening bank. Masing-masing mengeluarkan uang sebanyak dua puluh juta rupiah.
Tahukah Anda bahwa satu dari dua temanku yang mendaftar lowongan kerja kepada Sukirman, dialah yang sudah memberikan pinjaman kepadaku untuk usaha kepada Sukirman.
Waktu terus bergulir. Aku dan keluarga pun menunggu dengan cemas. Memasuki tahun pertama tidak ada perkembangan usaha perminyakanku. Hingga tahun kedua kabar yang kutunggu tidak kunjung memberikan harapan yang memuaskan. Ternyata uang dua puluh lima juta itu bablas (hilang). Aku tertipu.
Dari masalah satu mulai timbul masalah lagi. Karena kedua temanku yang aku kasih informasi kerja itu tidak kunjung ada hasil, akhirnya aku pun mulai dikejar-kejar kepastian oleh kedua temanku. Mereka jauh-jauh dari Jawa Timur datang ke rumahku hanya untuk menagih hutang. Kedua orangtua dan saudara-saudaraku pun mulai menyalahkanku. Tidak ada jawaban yang tepat untuk dapat memberikan kepuasan.
Surat perjanjian hutang-piutang yang dulu kutandatangani, oleh temanku pun dikeluarkan sebagai bukti. Aparat didatangkan untuk memberikan kebijakan kepadaku, tentu saja kewajibanku adalah membayar hutang. Persoalan semakin rumit. Tidak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Oleh pihak berwajib aku pun dipaksa untuk membayar seluruh uang yang telah kupinjam. Sukirman yang kusebut sebagai orang terjahat dalam masalah ini juga tidak mau bertanggung jawab.
Dengan berdalih bahwa hutang-piutang hanyalah sebuah hukum perdata, maka antara pihak temanku dan Sukirman semakin terjadi ketegangan. Aku berada di tengah-tengah sekaligus orang yang membawa mereka (teman-temanku) masuk ke dalam masalah ini.
Hari terus bergulir. Setiap kali aku datang ke rumah Sukirman, dia selalu tidak di rumah. Keluarga selalu bilang bahwa dia ke luar kota atau bila sudah berhasil aku hubungi, dia banyak berdalih akan pulang beberapa hari atau minggu lagi. Secara tidak langsung, semua masalah dibebankan kepadaku.
Dan benar. Akhirnya aku sendiri yang harus menghadapi masalah ini. Untuk menghadapi masalah ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Begitu juga keluargaku. Mereka semua pasrah. Satu hal yang masih aku ingat, suatu hari ibuku pingsan akibat desakan salah seorang temanku yang datang ke rumah untuk menagih hutang dengan cara yang tidak manusiawi. Apapun alasannya, dia tidak mau tahu. Mereka hanya mau, pokoknya uang kembali. Padahal uang itu sedemikian banyak. Dari mana aku harus mendapatkannya?
Aku benar-benar terpuruk. Bahkan perkara ini dipaksakan untuk masuk ke pengadilan. Keluargaku yang benar-benar buta dengan masalah hukum hanya bisa meratap.
Tidak ada jalan lain kecuali kumengadu kepada Allah. Aku tanyakan pada-Nya saat itu, “Rahasia apakah yang akan Kau berikan padaku atas cobaan ini? Dengan cara apapun, berilah aku jalan untuk keluar dari masalah ini, ya Allah!”
Tiap malam aku mengadu. Aku bertahajud untuk menuangkan semua kegalauanku. Tiap malam aku menumpahkan semua air mata. Aku berharap ada jalan terbaik untuk mengatasi masalah ini. Aku berharap seluruh keluargaku sabar dan tabah.
Dengan kejadian ini kami sekeluarga menanggung malu. Kejadian penagihan hutang oleh temanku sungguh membuatku tidak punya muka lagi. Tentu saja kejadian ini adalah pengalaman paling pahit yang pernah kualami.
Hatiku kian berdebar karena esok hari aku akan menghadapi masalah, yaitu aku akan diperkarakan. Aku tidak bisa berfikir lagi. Jalanku telah buntu. Sekali lagi aku hanya bisa menumpahkan air mata dan menengadahkan kedua tanganku dalam shalat tahajud.
Seperti yang sudah-sudah, pertemuanku dengan temanku seperti kucing dan anjing. Kami selalu bersitegang dalam menyelesaikan masalah ini. Aku selalu menjadi terdakwa yang siap “mati di tiang gantungan”. Dan aku benar-benar memang siap dengan semua risiko yang akan mereka lakukan kepadaku. Bahkan ancaman yang sempat mereka katakan kepadaku adalah aku harus siap dipenjarakan.
Aku semakin tertunduk dan pasrah. Aku semakin tak bisa menahan buliran air mata yang terus mengalir. Entah doa apa yang saat itu aku panjatkan. Aku hanya bisa memohon dan memohon agar besok diberikan jalan terbaik.
Detak jantungku seperti jarum yang terus berjalan, bersuara seperti gemuruh angin yang menyambar ranting berduri. Sementara ibuku masih terbaring sakit menghadapi masalah yang terjadi kepadaku.
Pagi benar-benar datang. Kedua temanku datang didampingi pengacara dan aparat yang sudah kukenal sebelumnya. Percakapan dimulai seperti pertemuan yang sudah terjadi sebelumnya. Aku hanya bisa mendengar dan menuruti apapun yang akan mereka lakukan kepadaku.
Tetapi yang dikatakan kemudian sungguh di luar fikiranku:
“Aku tahu keadaanmu. Kita sudah lama kenal dan seperti saudara. Sekarang aku tak akan menuntut apa-apa kepadamu. Jika kelak kamu ada, penuhilah tanggung jawab ini. Karena aku yakin kelak kamu akan sukses. Seperti yang aku kenal selama ini, kamu adalah pekerja keras yang tak pernah lelah berjuang untuk keluargamu…”
Aku masih tertunduk mendengar temanku bicara.
“Bagaimana aku menuntut kepadamu, sementara kamu sendiri tertipu oleh orang lain.”
Ya. Aku tertipu oleh janji manis teman bernama Sukirman, orang yang mengaku bekerja di BUMN itu.
“Ya Allah, Engkau akhirnya memberikan solusi terbaik kepadaku...”
Itulah mungkin jawaban doaku, khususnya dalam setiap tahajudku; doa ibuku, dan doa orang-orang yang simpatik padaku. Dan suatu saat nanti, uang itu pun akan kukembalikan.
Pesanku kepada siapa saja, “Jangan mudah percaya kepada orang lain apalagi kalau belum kenal. Teliti dulu sebelum kerja sama dengannya.”