Ketentuan Arah Kiblat Menurut Mazhab Syafi'i dan Hambali
Ketentuan Kiblat Menurut Syafi’iyah
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa tingkatan-tingkatan untuk mengetahui arah kiblat itu ada empat:
Pertama, seseorang yang dapat mengetahui sendiri. Barangsiapa yang memungkinkan untuk mengetahui sendiri, ia wajib mengetahuinya sendiri, tanpa harus bertanya kepada seseorang.
Seseorang yang buta berada di dalam masjid, bila memungkinkan baginya meraba tembok masjid untuk mengetahui kiblat, maka ia wajib melakukan hal itu, tanpa harus bertanya kepada seseorang.
Baca juga:
- Pengertian Arah Kiblat Secara Bahasa dan Istilah
- Ketentuan Arah Kiblat Menurut Mazhab Hanafi dan Maliki
Kedua, orang yang bertanya kepada seseorang yang dipercaya dan mengetahui kiblat, dalam arti ia tahu bahwa kiblat itu terdapat di daerah ini.
Dan telah Anda ketahui bahwa bertanya kepada seorang yang dapat dipercaya itu berlaku saat seseorang memang tidak mampu mengetahui kiblat sendiri.
Jika tidak, maka tidak dibenarkan baginya untuk bertanya. Yang dapat dijadikan pengganti orang yang dapat dipercaya adalah jarum kompas dan alat-alat lainnya yang dapat digunakan untuk mengetahui kiblat, seperti bintang kutub, matahari, bulan, dan mihrab-mihrab yang terdapat di kota besar umat Islam, atau terdapat di kota kecil akan tetapi banyak orang yang pergi melaksanakan salat di kota itu.
Ketiga, berijtihad. Cara ijtihad ini tidak sah kecuali apabila ia tidak mendapatkan seseorang yang dapat dipercaya untuk ditanya, atau ia tidak mendapatkan mihrab di suatu masjid yang besar ataupun kecil yang didatangi oleh sebagian orang.
Bila tidak mendapatkan semua itu, maka hendaknya ia berijtihad dan sesuatu yang ditunjukkan oleh ijtihadnya berarti menjadi kiblatnya.
Keempat, mengikuti seorang mujtahid, artinya bahwa apabila ia tidak bisa mengetahui arah kiblat dengan cara bertanya kepada orang yang dipercaya, dan tidak pula dengan mihrab dan lain sebagainya, maka ia boleh mengikuti seseorang yang telah melakukan ijtihad untuk mengetahui arah kiblat, dan salat dengan menghadap ke arah kiblat itu. Jadi, ia mendirikan salat sebagaimana mujtahid itu salat.
Ketentuan Kiblat Menurut Hambaliyah
Seseorang yang tidak mengetahui arah kiblat, maka bila ia berada di suatu negeri yang di sana terdapat mihrab yang dibangun oleh orang-orang Islam, maka ia wajib menghadap ke arah tersebut manakala ia tahu bahwa mihrab itu terdapat di suatu masjid yang dikerjakan oleh orang-orang Islam.
Jika ia mendapatkan suatu mihrab di suatu negeri yang sudah runtuh, seperti di beberapa daerah yang di sana terdapat bekas-bekas peninggalan lama, maka ia tidak boleh mengikutinya, kecuali apabila ia yakin sepenuhnya bahwa hal itu adalah bekas masjid roboh yang dibangun oleh orang-orang Islam.
Jika ia tidak mendapatkan mihrab, maka ia harus menanyakan arah kiblat walaupun harus mengetuk pintu orang dan mencari orang yang dapat memberikan petunjuk kepadanya, dan ia tidak boleh bersandar kecuali kepada orang yang adil, baik seorang laki-laki, perempuan, ataupun hamba sahaya.
Demikianlah pembahasan singkat mengenai ketentuan arah kiblat menurut mazhab Syafi’i dan Hambali. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam
Daftar pustaka: Abdurrahman al-Jazari. Fiqih Empat Mazhab Bagian Ibadah (Jakarta: Darul Ulum Press. 1994).