Ketentuan Arah Kiblat Menurut Mazhab Hanafi dan Maliki
Tetapi kami memisahnya menjadi dua bagian. Bagian pertama akan merinci pada keterangan Hanafiyah dan Malikiyah, dan di artikel berikutnya akan menyambung ke versi Syafi’iyah dan Hambaliyah.
Ketentuan Kiblat Menurut Hanafiyah
Orang yang tidak mengetahui arah kiblat dan ingin mencari tanda yang menunjukkan kepada arah tersebut, maka persoalannya tidak terlepas dari apakah ia tinggal di kota atau pun di desa, apakah ia tinggal di padang pasir atau di daerah-daerah lain yang di sana tidak terdapat penduduk Muslim.
Baca juga: Pengertian Arah Kiblat Menurut Bahasa dan Istilah
Dalam beberapa keadaan di atas tentu mempunyai hukum yang berbeda-beda. Apabila seseorang tinggal di kota atau tempat-tempat yang banyak ditemukan orang Islam, sedangkan ia sendiri ingin mengetahui arah kiblat, maka baginya ada tiga alternatif.
Pertama, apabila di kota tersebut terdapat beberapa masjid yang mempunyai mihrab tua yang didirikan oleh para sahabat atau tabi’in, maka dalam hal ini wajib baginya melaksanakan salat menghadap ke arah mihrab tua itu, dan tidak sah baginya mencari arah kiblat sedangkan mihrab itu ada. Jika ia masih mencari dan melaksanakan salat dengan menghadap ke arah lainnya, maka salatnya dihukumi tidak sah.
Kedua, ia berada di suatu daerah yang di daerah itu tidak terdapat mihrab tua. Dalam hal ini, ia wajib mengetahui arah kiblat dengan cara bertanya. Sedangkan untuk kriteria orang yang ditanya, disyaratkan harus benar-benar mengetahui arah kiblat, serta kesaksiannya pantas untuk diterima. Dan tidak sah bertanya kepada orang kafir, fasik dan anak kecil, karena kesaksian mereka tidak pantas untuk diterima.
Ketiga, ia wajib mengetahui arah kiblat dengan jalan meneliti. Misalnya dengan cara melaksanakan salat menghadap ke arah yang lebih diduga kuat bahwa itu adalah arah Kiblat, maka salat itu sah dalam keadaan bagaimana pun.
Ketentuan Kiblat Menurut Malikiyah
Apabila seseorang yang hendak melaksanakan salat di suatu daerah yang tidak mengetahui arah kiblat, maka jika di daerah itu terdapat masjid yang bermihrab tua, ia wajib melaksanakan salat menghadap ke arah mihrab itu.
Apabila ia berijtihad dan melaksanakan salat dengan menghadap ke selain arah mihrab-mihrab tersebut, maka salatnya tidak sah.
Baca juga: Ketentuan Arah Kiblat Menurut Mazhab Syafii dan Hambali
Sedangkan selain mihrab-mihrab itu, maka jika itu terdapat di kota dan dibangun berdasarkan kaidah-kaidah yang benar yang ditentukan oleh orang-orang yang tahu, maka bagi orang yang ahli dalam meneliti, maka ia diperbolehkan salat menghadap ke arah mihrab-mihrab tersebut, bukan wajib.
Sedangkan bagi orang yang tidak ahli dalam meneliti, maka wajib baginya mengikuti arah mihrab-mihrab itu.
Adapun mihrab yang terdapat di masjid-masjid desa bagi orang yang ahli meneliti, tidak boleh melaksanakan salat menghadap mihrab itu melainkan ia wajib meneliti terlebih dahulu tentang peletakannya sebelum melaksanakan salat.
Sedangkan bagi orang yang bukan ahli meneliti, maka wajib hukumnya melaksanakan salat menghadap ke arah mihrab tersebut, bila ia tidak mendapatkan seorang mujtahid yang dapat diikuti.
Adapun daerah-daerah yang di sana terdapat mihrab dapat dibagi menjadi tiga bagian:
- Mihrab masjid yang empat
- Mihrab masjid yang terdapat di kota-kota yang dibangun berdasarkan kaidah-kaidah yang benar.
- Mihrab yang terdapat di masjid-masjid desa.
Hukum yang berlaku bagi suatu daerah yang di sana terdapat mihrab. Jika ia mendapatkan suatu daerah yang tidak ada mihrab, dan memungkinkan baginya untuk berijtihad tentang arah kiblat, maka wajib baginya berijtihad dan tidak harus bertanya kepada seseorang, kecuali apabila tanda-tanda arah kiblat itu samara baginya.
Maka dalam hal ini, ia harus bertanya kepada seorang mukalaf yang adil dan mengetahui tanda-tanda kiblat itu, walaupun ia adalah seorang wanita hamba.
Itulah ketentuan-ketentuan arah kiblat menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam
Daftar pustaka: Abdurrahman al-Jazari, Fiqih empat Madzhab Bagian Ibadah (Jakarta: Darul Ulum Press. 1994).