Cara Saya Terpilih dari 10.000 Peserta
“Kerjakanlah shalat tahajud, maka Allah akan mengangkat derajatmu dalam kehidupan dunia dan akhirat.”
Pelajaran yang disampaikan oleh KH. Wildan Abdul Hamid masih kupegangi sampai sekarang. Belum lagi cerita-cerita nyata yang beliau sampaikan tentang shalat tahajud ketika aku nyantri sebagai salah satu kunci sukses semakin memperkuat hatiku untuk berusaha bangun di sepertiga malam terakhir untuk shalat tahajud.
Ya, aku bukan orang pintar. Terlahir di desa kecil di Kendal, Jawa Tengah. Aku mengenyam pendidikan biasa layaknya anak-anak desa lain. Pada waktu itu, tidak pernah kubermimpi bisa menjelajah dan belajar di negeri Paman Sam ini.
Setamat SD, aku belajar di SMP dan Madrasah Aliyah di daerahku sembari menimba ilmu agama di pesantren. Lulus dari Madrasah Aliyah, aku beradu nasib untuk belajar di IAIN Walisongo Semarang. Tak ada yang spesial dari jenjang pendidikanku.
Sekadar berbagi bahwa akumulasi dari usaha dan doa sangat menentukan keberhasilan dalam kehidupan. Kesuksesan bukan ditentukan oleh intelegensia dan keturunan, tetapi oleh usaha dan doa. Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers mengulas mengenai profil-profil orang sukses kaliber dunia menyimpulkan bahwa untuk menjadi orang berhasil dibutuhkan rata-rata waktu inkubasi atau usaha selama 10.000 jam.
Selain percaya terhadap positivisme usaha, sebagai muslim aku menaruh porsi besar dalam doa kepada sang sutradara kehidupan, yaitu Allah. Sejak SMP, ayahku selalu mengajari untuk melakukan shalat tahajud. Lambat laun setelah belajar agama di sekolah, aku mengetahui bahwa shalat tahajud merupakan ritual penting untuk menggapai kesuksesan. Tak berlebihan karena shalat ini dilakukan di sepertiga malam terakhir di mana kebanyakan orang sedang tidur terlelap. Beratnya ritual tahajud menjadikan ibadah tersebut sangat penting bagi setiap muslim. Dan aku sangat meyakini bahwa salah satu penentu mulusnya kehidupanku adalah shalat tahajud.
Di akhir semester kuliah, kira-kira tahun 2006, aku mulai tertarik mengikuti program beasiswa dan pertukaran pelajar di kampus. Berbekal bahasa Inggris yang pas-pasan aku mulai membuka website dan mengikuti seleksi pertukaran pelajar. Pernah aku mendaftar program pertukaran pelajar Indonesia-Kanada yang diadakan oleh Dinas Pendidikan (Diknas) Jawa tengah. Pada saat itu, aku hanya sampai tahap terakhir test seleksi. Tak lama kemudian, aku mengikuti program IELSP (International English Language Study Program) ke Amerika. Nilai TOEFL yang sangat pas untuk perekrutan tersebut tidak mengurangi kesempatanku untuk mengikuti program tersebut.
Alhamdulillah, aku menjadi bagian dari 20 penerima beasiswa tersebut yang diambil lebih dari 500 pelamar. Sangat mengherankan pada waktu itu, karena semua temanku berasal dari perguruan tinggi ternama di Indonesia dan mereka mempunyai skor bahasa Inggris yang tinggi. Ini membuktikan bahwa aku bukan orang pintar sehingga ada faktor lain yang kuyakini itu berasal dari “tangan” Allah.
Pulang dari Amerika aku menyelesaikan kuliah. Layaknya mahasiswa lain aku mengikuti ujian tutup atau komprehensif. Skripsi yang kutulis setengah di Indonesia dan di Amerika tersebut membawa berkah dengan memenangi kriteria skripsi terbaik di tingkat universitas. Lagi-lagi kalau boleh jujur, malu sekali aku membuka skripsi tersebut sekarang, karena banyak sekali kekurangan baik dari segi metodologi maupun penyajian hasil penelitian. Aku hanya beruntung.
Lulus kuliah aku mengajar di salah satu sekolah swasta di Semarang. Sembari berdoa lewat ibadah wajib maupun sunnah, aku tetap berkarya dengan menulis di media massa untuk menghidupkan nalar kritis sekaligus mencari sedikit bekal kehidupan lewat fee dari media massa karena gaji guru pada saat itu tidak bisa diandalkan untuk menutupi kebutuhan hidupku.
Aku juga terus berusaha melamar beasiswa pasca sarjana seperti yang kuimpikan semenjak kumengerti bahwa kualitas pendidikan di Amerika sangat baik. Aku mulai membuat personal statement yang berisi motivasi seorang pelamar mengikuti beasiswa. Selain itu menulis study objective yang berisi ulasan bidang studi yang akan pelamar tempuh jika lolos dalam seleksi beasiswa. Bagiku, seleksi beasiswa luar negeri di Indonesia sangat kompetitif karena banyak pelamar dari berbagai penjuru Indonesia. Aku mulai melamar beasiswa Goerge Sorosh Foundation untuk studi ke Inggris. Dalam beasiswa ini aku lolos sampai tahap terakhir, yaitu wawancara setelah mengikuti seleksi administrasi, bahasa, dan lainnya. Dalam skema beasiswa tersebut aku kurang beruntung. Lalu aku pulang dari Jakarta ke Kendal setelah seharian mengikuti test beasiswa, padahal kuberharap lolos seleksi beasiswa tersebut yang tinggal 6 pelamar dari sekian banyak pelamar di Indonesia.
Kata orangtuaku, “Berdoalah dan tetap berusaha, pasti nanti ada saatnya.”
Aku pun mengamini nasihat orangtuaku itu.
Hampir semua seleksi beasiswa yang sesuai dengan kualifikasiku, aku ikuti. Mulai dari Australian Development Scholarhsip, Full Bright, dan lain-lain, tetapi belum membuahkan hasil. Kadang aku merasa mau menyerah karena terlalu lama tak ada satu pun jawaban dari lembaga donor untuk memberi kesempatan padaku.
Masih seperti biasa aku mengajar dan menghabiskan waktu bersama siswa-siswa di sekolah. Awal tahun 2008, aku bergabung menjadi pengajar di lembaga bahasa di kampus. Suatu hari, aku mengalami musibah luar biasa, yaitu motorku dicuri sehabis mengikuti kegiatan kampus. Ya Allah, cobaan apalagi ini. Padahal motor tersebut merupakan “kakiku” untuk wira-wiri dari rumah ke Semarang. Selama kurang-lebih dua minggu aku di rumah, karena tidak ada transportasi untuk mengajar.
Alhamdulillah, setelah itu—seperti ada angin segar—panelis beasiswa Ford Foundation menyuratiku bahwa aku lolos seleksi administrasi dan diharapkan untuk melengkapi formulir aplikasi.
Selang tiga bulan, aku mendapat surat untuk mengikuti seleksi bahasa Inggris. Tiga bulan lagi aku menerima undangan untuk wawancara dan akhirnya lolos. Lagi-lagi aku tidak pernah berfikir masuk 36 penerima beasiswa dari 10.000 pendaftar. Aku yakin banyak orang lebih pintar dariku dan itu kutemui ketika interview. Tetapi Allah sedang memberikan nikmat yang luar biasa bagiku.
Setelah itu aku mengikuti pelatihan persiapan studi selama 6 bulan di Jakarta. Lagi-lagi aku tak menyangka diterima di University of Texas Austin, kampus yang konon nomor 5 di Amerika versi U.S. News ini.
Sekali lagi aku bukan orang pintar. Aku hanya bagian dari hamba Allah yang mendapatkan nikmat besar dan semoga nikmat ini bisa meningkatkan kapasitas hidupku di hari depan.
Tulisan ini hanya sekadar wahana berbagi untuk semua muslim bahwa Islam merupakan agama luar biasa. Ajaran Islam pun sangat detail, seperti untuk meraih kesuksesan hidup diajarkan untuk selalu berusaha melaksanakan amalan sunnah seperti shalat tahajud.
Sampai sekarang, nasihat guru dan orangtua untuk melanggengkan (rutin) shalat tahajud sebisa mungkin menjawab kegelisahan-kegelisahanku. Selalu saja apa yang kucita-citakan dijawab oleh Allah. Dibutuhkan keyakinan dan totalitas tinggi bahwa dengan melaksanakan shalat tahajud, Allah akan memberi kemudahan bagi seorang yang sedang mengayuh dayung menuju kehidupan yang didambakan. Aku yakin dengan janji Allah bahwa siapa pun yang melaksanakan shalat di sepertiga malam terakhir akan diberikan tempat yang terpuji.
Terima kasih kepada kedua orangtuaku dan guruku yang telah memberikan nasihat sekaligus contoh nyata untuk melaksanakan shalat tahajud.