Berkat Tahajud, Kuliahku Selalu Gratis!
Arief menempuh S1 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) tahun 2000-2005. Waktu S-1—tepatnya semester 1-2—karena keterbatasan biaya ia pernah ngonthel (bersepeda) dari PP. Nurul Ummah di Kotagede ke kampusnya yang harus ditempuh selama 25 menit. Ia nyantri di pondok itu untuk belajar agama khususnya kitab-kitab kuning. Ia pernah jualan buku sambil menekuni organisasi di bidang jurnalistik PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia), Pengurus Cabang PMII, dan Pengurus Wilayah IPNU Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dulu Arief pernah buka konter “Enk Cell” ketika mau lulus S-1. Rencana sudah matang dan prospek cukup bagus, tapi ada miss-management. Tuhan ternyata berkehendak lain karena setelah lulus S-1, ia malah dipercaya mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Cirebon (STAIC) cabang Bumiayu, Brebes. Kala itu ia harus pulang-pergi Bumiayu-Yogyakarta setiap minggu yang dijalaninya antara tahun 2005-2006.
Sebelum kuliah S-2 sebenarnya Arief sudah 2 kali mendaftar CPNS formasi hakim pengadilan agama, tapi belum beruntung. Arief lalu mencoba melanjutkan S-2 di UIN Suka Yogyakarta. Karena berprestasi bagus, akhirnya ia dapat beasiswa. Pada tahun 2007, ia diterima lagi kuliah S-2 di CRCS UGM dengan beasiswa penuh. Saat kuliah di UGM itu, Arief masih kuliah di S-2 UIN Suka. Jadi, dalam waktu sama ia menjalani 2 kuliah berbeda.
Terus terang, kalau biaya sendiri, orang tua tak akan sanggup membiayainya. Maka selagi dapat beasiswa, orang tuanya sangat mendukung bahkan sampai S-3 seperti sekarang ini ia memperoleh beasiswa S-3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta program Islamic Studies.
Arief pernah ikut Seminar Penelitian bergengsi di National University of Singapore (NUS) tahun 2009 khusus untuk mahasiswa S-2 dan S-3 se-Asia. Kemudian meraih kesempatan mengikuti program pertukaran pemuda Indonesia-Australia di UGM Yogyakarta tahun 2009, tentang Australia-Indonesia Youth Leadership.
“Mungkin keberhasilanku belum seberapa dibanding teman-teman lain. Tapi untuk ukuran anak desa, Alhamdulillah, Allah selalu saja memudahkan jalan padaku,” katanya.
Menurutnya, orang yang paling setia mengiringi perjalanan hidupnya adalah ibunya. Sang ibu selalu berdoa demi kesuksesan anaknya melalui shalat tahajud.
Ibu yang beruntung karena memiliki anak cerdas itu bernama Purwanti, lahir di Brebes, 12 Agustus 1959. Ia biasa melakukan tahajud jam dua malam.
Meski sehari-hari ia mengajar murid-murid SD di sebuah kampung di Bumiayu dan sehabis mengajar diteruskan dengan menitipkan jajanan ke toko-toko, tetapi malamnya ia selalu bangun untuk melakukan tahajud. Bahkan ibunya rutin mengamalkan puasa Senin Kamis.
Ternyata, efek doa orang tua, khususnya dikerjakan setelah tahajud, membuat sang anak selalu diberi kelancaran dalam studinya.