Berkat Tahajud, Aku Diterima S-2 di UGM
Aku pernah merasa sangat lemah dan terpuruk ketika harus kehilangan orang yang sekian lama mewarnai hari-hariku. Dialah calon suami yang tak lama lagi akan menikahiku. Dia yang bagus akhlak dan agamanya harus meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Kehilangan dia seakan dunia ini mau runtuh. Kehilangan dia membuat hatiku terguncang. Dia meninggal 4 November 2006.
Setelah itu aku bertemu dengan seseorang yang membantuku kembali tegar. Aku terlalu kuat bersandar padanya, bukan pada sang Khaliq. Aku merasa dia penguat jiwa dari rasa kehilangan orang yang kucintai untuk pertama kali. Mungkin karena aku terlalu cinta padanya, maka Allah pun cemburu padaku. Bukankah Allah bisa cemburu?
Benar, ternyata dia bukan jodoh yang tepat. Hatiku pun kian resah. Trauma kecelakaan calon suami yang dulu belum hilang, kini harus terkoyak karena orang yang kucintai meninggalkanku dengan menikahi seorang dokter. Saat itu aku merasa lemah sekali. Dan merasa bahwa hidup ini tak ada gunanya lagi, terbuang, dan terkucilkan.
Dalam keadaan yang benar-benar terpuruk, tak ada yang dapat kusandarkan selain kepada Allah. Mau berkeluh kesah kepada orang lain, kemungkinan besar tak dapat memberikan jalan keluar. Mau berkeluh kesah kepada keluarga, takut membuat hati mereka kian menangisi nasib anaknya.
Ya, dengan bangun malam dan tahajud. Kuyakini cara inilah yang terbaik untuk menyelesaikan koyakkan batin yang melanda hati. Dan itulah yang kulakukan setelah kejadian itu. Aku sering bangun malam untuk mendirikan shalat dan menangis di hadapan-Nya.
Di saat-saat seperti ini, Allah terasa dekat. Dialah teman terbaik di seluruh kehidupanku. Aku mohon ampun dan menyandarkan nasib ini pada-Nya. Aku bersandar atas luka-luka hati yang menyayat karena kehilangan orang-orang terkasih.
Setelah shalat tahajud hatiku terasa damai, bahagia, dan keyakinanku kepada Allah kian bertambah. Hidup terasa ringan untuk dijalani. Aku berdoa agar Allah melupakan kejadian-kejadian yang membuatku trauma dan Allah mengabulkanku dan menggantinya dengan sebuah hadiah terindah: aku diterima masuk S-2 UGM Yogyakarta.
Sejak saat itu, fikiranku terfokus pada studi dan rasa kehilangan yang dulu membuat kesedihan terhapus sudah. Aku mengambil S-2 Jurusan Politik Lokal dan Otonomi Daerah sejak Februari 2007 dan lulus tahun 2010.
Setelah lulus, Allah memberikan pilihan terbaik lagi: aku diterima sebagai dosen. Dalam waktu secepat itu aku memperoleh pekerjaan yang bagi kebanyakan orang sulit mendapatkannya.
Meskipun sekarang belum mendapatkan tambatan hati yang sesuai harapan sebagai pemimpin keluarga, tetapi hati ini selalu tenteram, damai, dan bahagia.
Inilah mungkin berkah tahajud yang kurasakan. Aku merasa bahagia karena Allah selalu menyayangiku. Aku berfikir, kalau aku terlanjur menikah dengan lelaki itu, yang setelah menikah tak lama kemudian meninggal dunia, tentu aku sudah menjadi seorang janda. Dan siapa saja pasti bisa merasakan betapa pedih menjadi seorang janda. Menjadi janda adalah cobaan terbesar dan terberat bagi setiap perempuan, setegar apapun dia.
Kini hari-hariku adalah hari-hari indah. Kujalani hidup ini dengan bahagia sebagai dosen. Capek mengajar tapi senang.
Aku dapat mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa dalam hidupku bahwa kita harus berfikir positif (husnudzan) atas setiap kejadian yang menimpa. Semua yang ada di dunia ini tidak ada yang kekal. Yang kekal hanya kekekalan itu sendiri. Kita pasti akan ditinggalkan dan meninggalkan semuanya. Ini hanya soal waktu saja.