Hukum Kartel (Cartel) Dalam Kacamata Islam
Hukum kartel sendiri dalam kacamata negara adalah dilarang, sebagaimana UU No. 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, dan kartel sendiri merupakan kategori persaingan usaha tidak sehat. Dalam konsepnya, kartel merupakan pelaku usaha yang membentuk perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa.
Pada hakikatnya tidak semua perjanjian kartel dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Misalnya, perjanjian kartel yang bertujuan untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak layak dan tujuannya tidak menghambat persaingan, serta dapat ditolerir Undang-Undang persaingan usaha.
Sehingga, praktik kartel seperti ini tidaklah dilarang selama tidak merugikan dari pihak konsumen dan tidak menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat di antara para produsen.
Namun pada umumnya, dengan adanya praktik kartel ini, konsumen jadi sulit untuk mendapatkan barang-barang berkualitas dengan harga yang wajar, karena sering dalam praktik kartel, produsen yang tergabung dalam kartel tersebut mengurangi mutu produksi dan menjual barang-barang mereka dengan harga tetap, atau tetap memproduksi barang dengan kualitas yang sama, namun dengan harga yang relatif lebih tinggi.
Sehingga, produsen lain yang masuk dalam pasar yang sama namun tidak ikut dalam perjanjian kartel menjadi sulit untuk bersaing dengan pada pelaku kartel.
Lantas, apasih dampak dari persaingan tidak sehat tersebut?
Dampak Persaingan Tidak Sehat
Pada umumnya, persaingan usaha yang tidak sehat akan membawa dampak yang tidak diharapkan, yakni adanya kesenjangan dalam kesempatan dan peranan antara golongan ekonomi kuat, menengah dan golongan ekonomi lemah.
Selain itu, pengusaha sumber daya ekonomi dan kesempatan berusaha akan tersebar tidak merata, sehingga kalau tidak segera dicegah dan ditanggulangi akan merugikan rakyat.
Selain itu, praktik kartel tidak hanya merupakan penyesuaian atas permintaan dan penawaran saja, namun juga mencakup penetapan harga dan membatasi produksi yang mengakibatkan terganggunya persaingan. Oleh sebab itulah, praktik kartel seperti ini secara parse dianggap ilegal, itu artinya, perbuatan tersebut merupakan larangan negara karena melawan hukum.
Tetapi, praktik kartel sangatlah sulit untuk dibuktikan keberadaannya, karena sifatnya selalu terselubung dengan adanya unsur konspirasi atau persekongkolan jahat dalam perjanjian pembentukannya, karena itu, biasanya perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha yang selevel ini selalu bersifat rahasia. Sehingga sangat sulit untuk diselidiki.
Hukum Kartel Dalam Islam
Dalam kacamata Islam, hukum praktik kartel adalah haram. Sebab, "akibat" dari praktik ini tidak sesuai dengan prinsip syariah Islam, serta tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Al-Hadis. Khususnya pada QS. An-Nisa' ayat 29-30 yang berbunyi,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisa': 29)
"Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."(QS. An-Nisa': 30)
Pada praktik kartel, terdapat benturan antara kepentingan konsumen dan produsen. hal ini menyalahi tujuan dasar dilakukannya akad dalam perikatan Islam, di mana suatu akad mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan duniawi dan akhirat.
Tujuan duniawi yaitu untuk mendapatkan normal profit oriented. Sedangkan tujuan akhirat adalah untuk mencari ridho Allah Swt.
Sedangkan dalam kartel, tujuan utamanya adalah untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengabaikan kepentingan pihak konsumen.
Penekanan yang salah pada tujuan duniawi akan mengakibatkan tidak tercapainya tujuan akhirat. Karena upaya meraih keuntungan yang sebesar-besarnya akan cenderung mengabaikan syariat, yang pada akhirnya mengakibatkan tidak diperolehnya ridho Allah Swt.
Kesimpulannya, tidak semua perjanjian antar pelaku usaha itu dapat menyebabkan persaingan tidak sehat. Sehingga yang menjadi garis hukumnya adalah dampak yang berlaku atas perjanjian tersebut. Apabila tidak merugikan konsumen dan tidak pula menimbulkan persaingan yang tidak sehat, maka hukumnya boleh-boleh saja (mubah).
Namun sebaliknya, apabila ia dapat merugikan konsumen dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat, seperti monopoli, oligopoli, price fixing maupun kartel, maka hukumnya haram.
Demikian pembasahan kali ini. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A'lam